PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Teologi islam juga
sering disebutkan ilmu kalam ialah salah satu ilmu yang penting dalam memahami
segala permasalahan dalam agama islam terutama mengenai akidah atau tentang
ketuhanan setelah Nabi wafat.
Setelah Nabi wafat umat
islam mulai terlihat benih-benih perpecahan baik secara kenegaraan maupun
secara pemahaman mengenai agama terutama dalam hal-hal menyangkut ketuhanan
atau teologi.
Masa
Khulafaurrasyidin masalah ini mulai naik kepuncaknya terutama pada akhir
kepemimpinan Utsman bin Affan. Setelah Utsman bin Affan Wafat kemudian tongkat
kepemimpina islam dipegang oleh Ali bin Abithalib. secara khusus Pada masa Ali
bin Abithalib inilah sebagai puncak tertinggi dari pertentangan umat islam.
Dalam sejarah perkembangan pemikiran
Islam, terdapat berbagai aliran
pemikiran kalam. Menurut Nurcholis
Madjid, dalam
bukunya yang berjudul Khazanah
Intelektual Islam,[1] Mu’tazilah
merupakan pendiri ilmu kalam yang sebenarnya dalam islam walaupun mememang diawali oleh pertentangan politik
antara Ali bin Abi Thalib dan Mu‘awiyah bin Abi Sufyan yang menyebabkan
mencuatnya pertentangan-pertentangan teologis di kalangan umat Islam akibat
dari itu muncullah aliran teologi yang pertama dalam sejarah Islam, yaitu
Khawarij. Sengketa tentang kekhalifahan bukanlah sekedar
perjuangan dinasti semata tapi lebih dari itu adalaha Isu-isu keagamaan kunci
tertanam di dalamnya[2].
Dalam
perkembangan aliran-aliran teologi[3]
dalam islam tersebut terdapat begitu banyak jenis, ragam dan mempunyai corak
sendiri-sendiri dan biasanya setiap golongan akan mengkafirkan gologan yang
lainnya yang tidak sesuai dengan ajaran yanag golongan mereka jalankan.
Menyangkut hal ini kita menginggatkan bahwa Islam tidak akan kuat kalau umat
islam sendiri tidak bersatu padu untuk meneggakkan hukum Allah. Walaupun memang
dalam ilmu pengetahuan Perbedaan
harus dipandang sebagai suatu realitas sosial yang fundamental[4], secara positif kemungkinan juga akan
menghasilkan sesuatu yang baik tentunya tidak melanggar hukum tertinggi dalam
islam yaitu Al-Qur’an dan Hadist.
Ilmu kalam merupakan respons terhadap Filsafat Yunani dan
ajaran-ajaran diluar Islam itu. Dengan kata lain, ilmu kalam menjadi fakta yang
menunjukkan adanya sense of social dari para pemikir Islam
maka muncullah teologi islam dengan permasalahan-permasalahanya kemudian hari.[5]
Berkaitan dengan hal tersebut,
diperlukan kajian mendalam mengenai “INTI
PERMASALAHAN TEOLOGI
DALAM ISLAM”. Hal ini disebabkan karena begitu
pentingnya pemahaman umat mengenai teologi dalam agama islam.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis mengambil masalah
yang akan dibahas dalam makalah ini
adalah:
1. Bagaimana Sejarah dan munculnya permasalahan
Teologi dalam Islam?
2. Bagaimana proses munculnya
Golongan-golangan atau aliran-aliran dalam Teologi dalam islam?
3.
Apa
inti permasalahan
Teologi dalam islam?
C.
Metode Penelitian
Sesuai dengan Latar belakang
masalah yang telah di kemukakan di atas maka penulis akan melakukan studi
analisis kepustakaan[6]
dengan mengunakan metode kualitatif. Penelitian kualitatif
merupakan penelitian yang digunakan untuk menyelidiki, menemukan,
menggambarkan, dan menjelaskan kualitas atau keistimewaan dari pengaruh social
yang tidak dapat dijelaskan, diukur atau digambarkan melalui pendekatan
kuantitaif[7]
Sogiono menyimpulkan bahwa
metode penelitian kulitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada
filsafat postpositivisme,
digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya
eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci, pengambilan sampel
sumber data dilakukan secara purposive dan snowbaal, teknik
pengumpulan dengan trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat
induktif/kualitaif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari
pada generalisasi.[8]
Penelitian kualitatif
berusaha untuk mengangkat secara ideografis berbagai fenomena dan realitas
sosial. Pembangunan dan pengembangan teori sosial khususnya sosiologi dapat
dibentuk dari empiri melalui berbagai fenomena atau kasus yang diteliti. Dengan
demikian teori yang dihasilkan mendapatkan pijakan
yang
kuat pada realitas, bersifat kontekstual dan historis. Metode penelitian kualitatif
membuka ruang yang cukup bagi dialog ilmu dalam konteks yang berbeda, terutama
apabila ia difahami secara mendalam dan “tepat”. Dalam kaitan ini, serangkaian
karakter, jenis dan dimensi dalam metode kualitatif memberikan manfaat yang
besar kepada ilmuwan sosial di Indonesia.[9]
BAB II
LANDASAN TOERI
A.
Pengertian Inti
Dalam kamus besar bahasa Indonesia kata inti dapat dimaknai
yaitu isi
yang paling pokok atau paling penting dalam suatu masalah atau dengan makna luas
bagian yang utama yang penting peranannya dalam suatu proses atau dalam pelaksanaan.[10]
Kemudian
inti juga diartikan seperti isi yang paling pokok atau penting.[11] Dengan demikian kata inti itu sendiri
begitu penting dalam suatu pembahasan agar kita bisa berfokus kepadanya sehingga
tidak mengambang pembahasan kearah pembahasan lain yang tidak menyangkut dengan
pokok bahasan.
B.
Pengertian Masalah
Makna dari Masalah (bahasa Inggris: problem) kata yang digunakan untuk
menggambarkan suatu keadaan yang bersumber dari hubungan antara dua faktor atau
lebih yang menghasilkan situasi yang membingungkan.[12]
Definisi
lain dari masalah dalam buku cerdas berbahasa indonesia adalah sesuatu yang
harus dipecahkan atau diselesaikan.[13]
Sudah sangat jelas Secara substansi masalah
adalah suatu kejadian yang terjadi tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh
seseorang, kelompok maupun golongan atau yang tidak sesua dengan mereka. Baik
itu berupa hasil yang baik maupun hasil yang buruk.
Setidaknya masalah mempunyai beberapa ciri
dantaranya: Pertama: Masalah adalah sebuah kesempatan untuk berkembang. Kedua: Masalah adalah
perbedaan antara kondisi sekarang dan kondisi yg diharapkan. Ketiga: Masalah adalah
hasil dari kesadaran bahwa kondisi yg sekarang terjadi belumlah sempurna dan
keyakinan bahwa masa depan bisa dibuat jadi lebih baik.
C.
Pengertian
Teologi (ilmu kalam)
Teologi membicarakan
zat Tuhan dari segalah aspeknya. Dan perhatian Tuhan dengan Alam semeseta
karena Teologi sangat luas sifatnyat. Teologi setiap agama bersifat luas maka bila
di pautkan dengan islam (teologi islam) pengertiannya sama dengan Ilmu Kalam.
Teologi Islam merupakan istilah yang diambil dari bahasa inggris, theology William L Reese
mendefinisikan dengan “discourse or concerning” (diskursus/pemikiran tentang
Tuhan).[14]
Sesuai dengan
Estimilogi Teologi Islam, berasal dari bahasa yunani yakni kata Theos artinya
adalah Tuhan dan Logos adalah Ilmu. Berarti Teologi didefenisikan Ilmu yang mempelajari tentang
Tuhan. Kemudian Ilmu Kalam asal katanya dari ilmu yaitu Pengetahuan dan Kalam
adalah Pembicaraan. Dafat disimpulkan bahwa Ilmu kalam adalah disiplin ilmu
yang mengandung berbagai argumentasi tentang akidah imani (ketuhanan) yang
diperkuat dalil-dalil rasional.
Sejalan dengan yang
dituliskan oleh Prof. Sahilun A. Nasir bahawa pada dasarnya Teologi itu dalam
kajian islam sama dengan ilmu kalam[15].
Teologi Islam sama dengan ‘Iim al-kalam (secara harfiah ilmu
perdebatan) menunjukan suatu disiplin pemikiran islam secara umum disebut
sebagai teologi atau (bahkan kurang akurat) sebagai teologi skolastik[16].
Disiplin ini berkembang dari kontroversi politik dan agama yang menelan
komunitas Muslim dari formatif tahun, berhubungan dengan interpretasi ajaran
agama dan pertahanan penafsiran ini dengan cara diskursif argumen.
Dapat disimpulkan teologi islam merupakan ilmu yang
mempelajari tentang kenyataan-kenyataan dan gejala-gejala agama islam yang juga
membicarakan tentang hubungan manusia dengan Tuhannya, baik jalan penyelidikan
atau pemikiran murni, atau dengan jalan wahyu.
Sementara itu menurut
Dr. M. Yunan Yusuf masalah ilmu kalam ini timbul berawal dari masalah politik
yaitu ketika usman bin affan wafat terbunuh dalam suatu pemberontakan. sebagai
gantinya Ali dicalonkan sebagai khalifah namun pencalonan Ali ini banyak
mendapat pertentangan dari para pemuka sahabat di Mekah. Tantangan kedua datang
dari Muawiyah, gubernur Damaskus salah seorang keluarga dekat Usman bin Affan.
Ia pun tidak mau pengangkatan Ali sebagai khalifah. Muawiyah menuntut untuk
menghukum para pembunuh Usman bin Affan.
Hingga sampai
terjadinya peristiwa tahkim yang membuat Muawiyah naik tahta. Ketika Ali
membiarkan hal itu terjadi sebagian tentara Ali tidak menyetujui hal tersebut. mereka
memandang Ali telah berbuat salah dan berdosa dengan menerima keputusan itu.
Akhirnya mereka
menganggap Ali dan Muawiyah telah kafir. Dan hal itu berkembang bukan lagi
menjadi masalah politik namun telah menjadi masalah teologi. Mereka inilah yang
dikenal dengan kaum Khawarij.[17]
D.
Pengertian
Islam
Secara Etimologis asal
kata “Islam” berasal dari bahasa Arab: Salima yang artinya selamat. Dari kata
itu terbentuk Aslama yang artinya menyerahkan diri atau tunduk dan patuh.
Sebagaimana firman Allah SWT.
4n?t/ ô`tB zNn=ór& ¼çmygô_ur ¬! uqèdur Ö`Å¡øtèC ÿ¼ã&s#sù ¼çnãô_r& yYÏã ¾ÏmÎn/u wur ì$öqyz öNÎgøn=tæ wur öNèd tbqçRtøts ÇÊÊËÈ
Artinya: (tidak demikian) bahkan Barangsiapa yang
menyerahkan (Aslama) diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, Maka
baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka
dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 112).
Islam menurut Kamus bahasa Indonesia adalah satu agama yang diajarkan
oleh Nabi Muhammad saw yang berpedoman pada kitab suci Al-Qur’an[18].
Islam
merupakan panutan para Rasul dan mereka diutus Allah dengan membawa islam
hingga Allah mengakhiri rasul dengan Muhammad SAW yang menutup seluruh jalan
kepada Allah kecuali melalui arah Muhammad SAW[19].
Dapat disimpulkan Islam
secara bahasa berarti tunduk, patuh, dan damai. Sedangkan menurut istilah,
Islam adalah nama agama yang diturunkan Allah untuk membimbing manusia ke jalan
yang benar dan sesuai fitrah kemanusiaan. Islam diturunkan bukan kepada Nabi
Muhammad saja, tapi diturunkan pula kepada
seluruh nabi dan rasul. Sesungguhnya seluruh
nabi dan rasul mengajarkan Islam kepada umatnya.
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pembahasan mengenai teologi merupakan
pembahasan yang amat luas. Banyak topik yang dibahas di dalamnya, dari
pembahasan tentang Tuhan, wahyu, rasul, manusia dan takdirnya, hingga hari
akhir. Disebabkan hal itu, makalah ini akan menfokuskan pada beberapa aspek
dari kajian teologi islam saja.
Kemudian Sesuai
dengan landasan teori yang telah di kemukakan di atas maka penulis akan
melakukan studi analisis kepustakaan untuk mendapatkan jawaban yang tepat untuk
rumusan masalah dari makalah ini yang berjudul “Inti Permasalahan Teologi Dalam Islam”.
Allah
berfirman dalam Al-Qur’an,
z`ÏB úïÏ%©!$# (#qè%§sù öNßguZÏ (#qçR%2ur $YèuÏ© ( @ä. ¥>÷Ïm $yJÎ/ öNÍköys9 tbqãmÌsù ÇÌËÈ
Artinya:
“Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka[20] dan
mereka menjadi beberapa golongan. tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa
yang ada pada golongan mereka.” (Al-Qur’an, Surat ar-Rum: 32)
A.
Sejarah dan Munculnya Permasalahan Teologi
Islam.
Pada masa pemerintahan islam Dipimpin
oleh ‘Usman
bin Affan, tindakan-tindakan
politiknya menimbulkan ketidak senangan dari sekelompok sahabat dari para
sahabat dan yang lainnya selain itu gelombang fitnah juga sangat besar yang
dimainkan oleh Abdullah bin saba’ sehingga menimbulkan pemberontakan yang
merugikan kekhalifahannya sendiri pada saat itu.
Dalam
riwayat Imam ath-Thabari tertera secara lengkap dan paling rinci dari
kitab-kitab lainya yang ada bahwa Peranan Ibnu Saba' dalam mengobarkan fitnah
penyebab terbunuhnya khalifah Utsman dan perpecahan umat Islam, juga tertera
dalam Tarikh Imam ath-Thabari, melalui riwayat Saif bin Umar at-Tamimi.
Khabar tersebut bertebaran pada riwayat orang-orang terdahulu dan termuat di
dalam kitab-kitab yang membicarakan peristiwa-peristiwa sejarah Islam serta
pendapat berbagai golongan dan aliran pada masa itu[21].
Setelah wafatnya ‘Utsman, kemudian
kekhalifahan digantikan oleh ‘Ali bin Abi Thalib, tetapi karena adanya
keinginan dari sahabat lain yang ingin menjadi khalifah, di antaranya Talhah
dan Zubair yang disokong ‘Aisyah, maka terjadilah peperangan antara mereka di
Irak pada tahun 656 M, akhirnya ‘Ali bisa mengalahkan mereka.
Peperangan Ali melawan Talhah dan
Zubair yang disokong ‘Aisyah itu berakhir. Namun, datang lagi tantangan dari
salah seorang yang masih termasuk keluarga ‘Utsman, yaitu Mu’awiyah bin Abi
Sufyan, hingga terjadi perang yang terkenal dengan perang shiffin[22].
Diakhir
Perang shiffin
muncul kekecewaan karena perundingan itu tidak disenangi oleh pasukan Ali
secara keseluruhan dengan demikaian ada proses penghiantan oleh Mu’awiyah
secara sepihak ia menurunkan Ali dari jabatan khalifah. Padahal isi perjajianya (Ali
mengirimkan Abu Musa al-Asy’ari dan Mu’awiyah mengirimkan Amr bin Ash sebagai
hakim dalam perundingan tersebut) bahwa keduanya antara Ali dan Mu’awiyah akan meletakkan jabatan masing-masing dan akan
dilakukan pemilihan pemimpin selanjutnya dengan cara adil. Umat
islam yang berpihak pada Ali terpecah menjadi dua, satu kelompok mendukung
sikap Ali kelak disebut Syi’ah, dan
kelompok lain menolak sikap Ali, kelak disebut Khawarij.[23]
Berdasar dari kejadian inilah maka
permasalahan Teologi dalam Islam mulai muncul.
Disisilain
Faham Mu’tazilah yang memahami bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, bahwa manusia membuat
pekerjaannya sendiri, Tuhan tidak bisa dilihat dengan mata dalam surga, orang
yang mengerjakan dosa besar diletakkan di antara dua tempat, dan mi’raj Nabi
Muhammad SAW hanya dengan roh saja, dengan adanya
pemahaman Mu’tazilah
seperti ini maka sesunguhnya pohon ilmu kalam atau teologi islam sudah
ditanamkan kokoh, hal ini didukung oleh kesimpulan dari Nurcholis Madjid, dalam bukunya yang
berjudul Khazanah
Intelektual Islam.
B.
Kelompok-Kelompok Dalam Teologi
Islam.
Semua kelompok-kelompok atau
aliran-aliran dalam teologi islam muncul secara resmi setelah Perang shiffin
berakhir diawali dengan terpecah pasukan Ali menjadi dua, satu
kelompok mendukung sikap Ali yang menyetujui hasil perundingan antara kelompok
Golongan Ali dengan golongan Mu’awiyah
bin Abi Sufyan, kelak disebut Syi’ah, dan kelompok lain menolak sikap Ali, kelak disebut Khawarij. Menurut Prof. Sahilun A. Nasir, dalam bukunya Pemikiran kalam (Teologi Islam): sejarah,
ajaran dan perkembangannya, menyatakan bahwa secara garis besar
Firqoh-firqoh (golongan) teologi dalam islam terbagi menjadi 7 yakni, Syi’ah, Khawarij, Qadariyah, Jabariyah,
Mur’jiah, Mu’tazilah dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Kemudian hari yang
muncul lagi adalah turunan dari ketujuh firqoh-forqoh tersebut[24].
1.
Syi’ah
Syi’ah
secara etimologi bahasa berarti pengikut[25],
sekte dan golongan seseorang. Adapun menurut terminologi syariat bermakna:
Mereka yang berkedok dengan slogan kecintaan kepada Ali bin Abi Thalib beserta
anak cucunya bahwasanya Ali bin Abi Thalib lebih utama dari seluruh shahabat
dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian
pula anak cucu sepeninggal beliauDalam Istilah syara’, Syi’ah adalah suatu
aliran yang timbul sejak masa pemerintahan Utsman bin Affan yang dipimpin oleh
Abdullah bin Saba’ Al-Himyari.
Inti
daripada Golongan Syi’ah
adalah kaum yang
berlebih-lebihan memuja Saidina Ali bin Abi Thalib
dan keluarganya. Sehingga
mereka tidak mengakui Khalifah
Rasyidin yang lain seperti Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq, Khalifah Umar Ibnu
Khattab dan Khalifah Utsman bin Affan.
Sejarah
kemunculan Syia’h memang ada beberapa versi yang beredar di masyarakat
diantaranya. Pertama: Pendapat al-Jawad yang dikutip oleh Prof. H. Abu Bakar Atjeh
dalam bukunya Perbandingan Mazhab Syi'ah, menjelaskan bahwa lahirnya Syi'ah
adalah bersamaan dengan lahirnya nas (hadis) mengenai pengangkatan 'Ali ibn Abi
Talib oleh Nabi sebagai khalifah sesudahnya. nas yang dimaksud antara lain, mengenai kisah
perjamuan makan dan minum yang diselenggarakan oleh Nabi di rumah pamannya, Abu
Talib, yang dihadiri oleh 40 orang sanak keluarganya. Dalam perjamuan itu
beliau menyatakan: "...Inilah dia
('Ali) saudaraku, penerima wasiatku dan khalifahku untuk kalian, oleh karena
itu, dengar dan taati (perintahnya) ..." Pernyataan ini disampaikan oleh Nabi sesudah 'Ali menerima tawaran
beliau sebagai khalifahnya.
Nas
seperti ini, jelas tidak terdapat dalam kitab Sahih al-Bukhari dan Sahih
Muslim, karena itu golongan Sunni menolak nas tersebut bila dijadikan dalil
untuk mengklaim kekhilafahan bagi 'Ali[26]. Kedua:
Abu Zahrah berpendapat bahwa Syi'ah tumbuh di Mesir
masa pemerintahan 'Usman, karena negeri ini merupakan tanah subur untuk
berkembangnya paham tersebut, kemudian menyebar ke Irak dan di sinilah mereka
menetap[27].
Yang diketuai oleh Abdullah bin Saba’
2.
Khawarij
Secara historis Khawarij adalah Firqah Bathil yang pertama
muncul dalam Islam sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam
kitabnya Al‑Fatawa,
“Bid’ah
yang pertama muncul dalam Islam adalah bid’ah Khawarij”.
Secara
bahasa kata khawarij berarti orang-orang yang telah keluar. Kata
ini dipergunakan oleh kalangan Islam untuk menyebut sekelompok orang yang
keluar dari barisan Ali ibn Abi Thalib r.a. karena kekecewaan mereka terhadap
sikapnya yang telah menerima tawaran tahkim (arbitrase) dari kelompok
Mu’awiyyah yang dikomandoi oleh Amr ibn Ash dalam Perang Shiffin (37H/657M).
Menurut
keyakinan golongan Khawarij, semua masalah antara Ali dan Mu'awiyah harus diselesaikan
dengan merujuk kepada hukum-hukum Allah yang tertuang dalam Surah al-Ma'idah
Ayat 44 yang artinya, “Barang siapa tidak
memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang
kafir.” Berdasarkan ayat ini, Ali, Mu'awiyah, dan orang-orang yang
menyetujui tahkim telah menjadi kafir karena mereka dalam memutuskan perkara
tidak merujuk pada Al-Qur,an[28].
Sumber pemikiran, sifat dan karakter Khawarij
awalnya dari seseorang yang bernama Dzul Khuwaishirah
dari Bani Tamim[29]. Awalnya dia telah menuduh Nabi Muhammad
tidak adil dalam pembagian harta rampasan perang, ucapannya membuat Umar bin Khattab atau Khalid bin Walid hendak memenggal lehernya, akan tetapi dicegah oleh Nabi Muhammad.
Khawarij
juga berciri-ciri suka mengkafirkan pemerintah kaum muslimin dan orang-orang
yang bersama pemerintah tersebut (karena melakukan dosa-dosa besar),
memberontak kepada pemerintah kaum muslimin, menghalalkan darah dan hartanya.
Khawarij juga dinyatakan sebagai Firaqah
(kelompok) pertama yang mengkafirkan kaum muslimin karena dosa yang telah
mereka kerjakan, Mereka juga mengkafirkan ahli bid'ah lain yang tidak sejalan
dengan mereka, serta menghalalkan darah dan hartanya Begitulah pendirian ahli bid'ah
mereka berbuat bid'ah lalu mengkafirkan ahli bid'ah lain yang tidak sejalan
dengan mereka[30].
3.
Qadariyah
Sesungguhnya
Qadariyah diambil dari bahasa arab, dasarkatanya adalah qadara arti kemampuan atau kekuasaan. Adapun pengertian qadariyah
berdasarkan terminology adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan
manusia tidak diintervensi oleh Tuhan, artinya tanpa campur tangan Tuhan.
Dalam
istilah Inggris qadariyah ini dikenal dengan free will and free act, bahwa
manusialah yang mewujudkan perbuatan-perbuatan dengan kemauan dan tenaganya
sendiri.
Aliran
ini ditimbulkan pertama kali oleh Ma’bad al-Juhani. Menurut ibnu Nabatah
Awalnya Ma’bad al-Juhani dan sahabatnya yang bernama Ghailan al-Dimasyyqi
mengambil paham ini dari seorang kristen yang masuk islam dari irak kemudian
Ma’bad al-Juhani terbunuh dalam peperangan melawan penguasa pada saat itu.
Selanjutnya Ghailan al-Dimasyyqi menyebarkan paham ini di damaskus kemudian
akhirnya di dihukum mati juga oleh penguasa saat itu yaitu Banu Umayyah karena
dituduh sesat.[31]
4.
Jabariyah
Secara bahasa jabariyah berasal dari kata جَبَرَ
yang mengandung pengertian memaksa. Di dalam kamus Al-Munjid dijelaskan bahwa
nama jabariyah berasal dari kata jabara
yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Sedangkan
secara istilah, jabariyah adalah menolak adanya perbuatan dari manusia dan
menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain adalah manusia
mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur).
Ja’d
ibn Dirham pertama sekali yang menonjolkan aliran ini. Tapi yang menyebarkanya
adalah Jahm Ibn Safwan dari Khurasan. Jahm juga melakukan hal yang sama yakni
melawat Banu Umayyah penguasa pasa saat itu akhirnya dia dihukum bunuh pada
tahun 131 H.[32]
5.
Mur’jiah
Irja
atau
arja’a adalah asal kata dari Murji’ah
yang berarti penundaan, penangguhan, dan pengharapan. Kata arja’a juga
memiliki arti memberi harapan, yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar
untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah. Oleh karena itu, murji’ah
artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa,
yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing ke hari kiamat kelak[33].
Pada
saat umat Islam terjadi pertikaian antara Khawarij dan Syi’ah mengenai pelaku dosa
besar menjadi kafir atau tidak maka mucullah kelompok yang nantinya seperti
menenggahi permasalahan itu adalah Mur’jiah.
Diperkirakan
Murji’ah muncul bersamaan dengan kemunculan Khawarij dan Syiah dengan dasar irja
atau arja’a (penundaan,
penangguhan, dan pengharapan) dikembangkan
oleh sebagian sahabat untuk menjamin persatuan dan kesatuan umat Islam ketika
terjadi pertikaian politik antara Khawarij dan Syi’ah.
Ajaran
pokok dari Murji’ah pertama: Menunda hukuman atas Ali, Muawiyah, Amr Bin Ash, dan
Abu Musa Al-Asy’ary yang terlibat tahkim dan menyerahkan kepada Allah di
hari kiamat kelak. Kedua: Menyerahkan
keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar. Ketiga:
Meletakan (pentingnya) iman daripada amal. Keempat: Memperbaiki pengharapan
kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat Allah[34].
6.
Mu’tazilah
Secara Etimologi, Mu’tazilah berasal
dari kata “i’tizal” yang artinya menunjukkan kesendirian, kelemahan,
keputus-asaan, atau mengasingkan diri. Dalam Al-Qur’an, kata-kata ini diulang
sebanyak sepuluh kali yang kesemuanya mempunyai arti sama yaitu al
ibti’âd ‘ani al syai-i (menjauhi sesuatu) seperti dalam ayat:
ÈbÎ*sù öNä.qä9utIôã$# öNn=sù öNä.qè=ÏF»s)ã (#öqs)ø9r&ur ãNä3øs9Î) zNn=¡¡9$# $yJsù @yèy_ ª!$# ö/ä3s9 öNÍkön=tã WxÎ6y ÇÒÉÈ
Artinya: …Tetapi
jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian
kepadamu, Maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh)
mereka. (Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 90)[35].
Mereka
di sebut kaum mu’tazilah karena mereka berpendapat bahwa orang dosa besar bukan
mukmin dan bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi di antara keduanya menurut
versi mereka disebut kaum mu’tazilah karena mereka menbuat orang yang berdosa
besar jauh dari (dalam arti tidak masuk )golongan mukmin dan kafir.[36]
Aliran ini muncul di kota Bashrah
(Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa
pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul
Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan
Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal[37]
Mu’tazilah
sebenarnya merupakan gerakan keagamaan semata tidak seperti aliran-aliran atau
kelompok-kelompok teologi yang lainya adanya sebab politik dan penyesuaian
kondisi pada saat itu.
Aliran
Mu’tazilah[38]
sering menyelesaikan persoalan-persoalan teologi memakai akal dan logika
sehingga mereka dijuluki sebagai “kaum rasionalis Islam“. Penghargaan mereka
yang tinggi terhadap akal dan logika menyebabkan timbul banyak perbedaan
pendapat di kalangan mereka sendiri, hal ini disebabkan keberagaman akal
manusia dalam berfikir. Bahkan perbedaan tersebut telah melahirkan sub-sub
sekte (aliran) mu’tazilah baru yang tidak sedikit jumlahnya.
7.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Pengertian
Ahlus Sunnah wal Jama’ah menurut bahasa (etimologi) adalah jalan/cara,
apakah jalan itu baik atau buruk. Dan Definisi Aswaja Secara umum adalah: satu
kelompok atau golongan yang senantiasa komitmen mengikuti sunnah Nabi SAW. Dan
Thariqah para shabatnya dalam hal aqidah, amaliyah fisik (fiqih) dan hakikat (Tasawwuf
dan Akhlaq) Sedangkan definisi Aswaja secara khusus adalah: Golongan yang
mempunyai I’tikad/keyakinan yang searah dengan keyakinan jamaah Asya’irah dan
Maturidiyah[39].
Pelopor
pembukuan akidah Aswaja adalah Syaikh Abu
Alhasan Al ASy'ari (260-324 H). dan Syaikh Abu Mansur Al Maturidi (333 H).
Dua tokoh Kharismatik Ulama ini yang kemudian menghasilkan kodifikasi
metodologi akidah Aswaja yang selanjutnya dijadikan sebagai referensi utama
umat islam karena ajaran yang diajarkannya sesuai dengan Alqur'an dan As-sunnah.
Syaikh Abu Hasan Al Asy'ari mendokumentasikan akidah Aswaja dalam berbagai
kitab beliau. diantaranya: Al Luma' fi Ar Raddi "Ala Ahli Az-Zaighi Wa Al
Bida'i, Ali banah 'An Ushul Ad-diyanah, dan Maqalat Ali Slamiyyin, sedangkan,
Syaikh Abu Mansur Al Maturidi mendokumentasikan akidah Aswaja dalam kitab
karangannya, antara lain: At-Tauhid, Ta'wilat Ahlis Sunnah, Bayan Wahmi
Almu'tazilah, dan lain-lain.
C. Inti
Permasalahan Teologi
Islam (Akar Persoalan
Teologi dalam Islam)
Pemasalahan teologi dalam umat islam
memang bukan merupakan persoalan yang muncul sebagai persoalan teologis semata.
Tetapi persoalan-persoalan teologi dalam umat islam muncul dikarenakan banyak
faktor lain secara mendasar diawali dengan berkembangnya fitnah pada masa Usman
bin Affan sehingga mengakibatkan peristiwa pembunuhan terhadap dirinya sebagai
khalifah umat islam yang sah pada waktu itu. Diantara Inti Permasalahan Teologi
Islam (Akar Persoalan Teologi dalam Islam)
adalah:
1.
Faktor politik (kekuasaan)
Pembaca
sekalian, bisa jadi bagi anda bukanlah politik faktor yang pertama tapi faktor
Abdullah bin saba’ yang pertama karena dia menyebarkan fitnah ditenggah-tengah umat
islam pada saat itu yakni masa pemerintahan Utsman bin Affan. Tapi bagi penulis
bahwa faktor politiklah yang paling pertama baru kemudian faktor Abdullah bin
saba’ dan faktor-faktor lainnya.
Permasalahan
Teologi islam lahir dari puncak pertikaian politik antara Mu’awiyah dan Ali bin Abi
Thalib, walaupun benih-benih perbedaan pandangan sudah pernah lahir sejak nabi
Muhammad SAW dan para sahabat, namun perbedaan tersebut baru mengkristal setelah
peristiwa tahkim[40].
Peristiwa inilah yang menjadi titik awal lahirnya aliran-aliran teologi dalam
Islam.
Permasalahan
Teologi dalam islam juga sesunguhnya didasari oleh persoalan politik yang
kemudian disusul persoalan teologi. Ketika Nabi SAW wafat, yang terfikir di
dalam kalangan (para sahabat) adalah siapa pengganti Rasulullah SAW? Dan
berlanjut sampai khalifah Usman yang terbunuh merupakan titik awal lahirnya
permasalahan teologi yang dipertentangkan. Dari peristiwa pembunuhan Usman yang
kemudian menjadi permasalahan adalah dosa apa yang telah diperbuat olehnya, dan
bagaimana dosanya bagi orang-orang yang membunuh beliau? Peristiwa pembunuhan itu
sebenarnya merupakan peristiwa politik karena mempunyai latar belakang yang
bermuatan politik, yakni sebagai tanggapan terhadap kebijaksanaan pemerintahan
yang dijalankan pada waktu itu.
Menurut Harun Nasution, persoalan yang
pertama-tama muncul sehingga lahir perdebatan dalam bidang kalam atau teologi
adalah persoalan politik. Tetapi persoalan politik ini segera meningkat menjadi
persoalan teologi[41].
2.
Faktor Fitnah Abdullah bin saba’
Abdullah bin Saba (sekitar 600 M - 670 M) juga
dikenal dengan nama panggilan Ibnu Saudah merupakan seorang Rabbi Yahudi yang masuk Islam pada masa Khalifah Utsman bin Affan dan kemudian menyulut pemberontakan terhadap
khalifah waktu itu, serta kemudian diriwayatkan oleh sebagian sejarawan muslim
sebagai pendiri Syi'ah.[42]
Walaupun ada riwayat-riwayat yang menjelaskan
tentang hakekat Abdullah bin Saba’ adalah lemah karena melewati jalur seorang
perawi bernama Saif
bin Umar At-Tamimi, ia telah dilemahkan oleh beberapa pakar hadits Ahlus Sunnah terkemuka.
Namun, Itu hanya dalam periwayatan
hadist saja adapun dalam masalah sejarah maka beliau dapat
dijadikan sandaran dan rujukan. Seperti yang dikatakan oleh Umar Kahalah[43].
“Saif bin Umar At-Tamimi Al Burjumi, Ahli sejarah berasal dari Kufah.”
Jika
inilah sebab sanggahan itu maka sesungguhnya bukan hanya dia saja yang
meriwatkan Abdullah bin Saba tapi banyak periwayat lain seperti adanya Diriwayatkan
melalui jalur ‘Amr bin Marzuk ia berkata, telah menceritakan kepada kami
Syu’bah dari Salamah bin Kuhail dari Zain bin Wahb ia berkata, “Ali radhiallahu ‘anhu berkata,
‘ada apa denganku dan dengan orang jahat yang hitam ini (maksudnya Abdullah bin
Saba’) ia telah mencela Abu Bakar dan Umar radhiallahu ‘anhu.”
Keberadaan Abdullah bin Saba' juga tercatat
pada ensiklopedi sejarah Umat Yahudi, sebagaimana yang tercantum di dalam Jewish Encyclopedia bertahun 1906:
"Seorang Yahudi Yaman, Arab, dari abad ketujuh, yang menetap di Madinah
dan memeluk Islam. Setelah dia mengkritik pemerintahan Khalifah Utsman yang
berakibat buruk, dia dibuang dari kota. Dari situ ia pergi ke Mesir, di mana ia
mendirikan sebuah sekte anti-Utsman, untuk mempromosikan ketertarikan terhadap Ali[44].
Fitnah
Abdullah
bin Saba’ diantaranya, Pertama:
Menuduh Abu Bakr, Umar bin Khattab dan Uthman bin Affan radiallahu
‘anhum sebagai orang-orang zalim (kafir) kerana merampas hak khalifah Ali
setelah wafatnya Rasulullah. Dan semua umat yang membaiah khalifah diketika itu
adalah kafir. Kedua: membenarkan dan dan menyebarkan bahawa Ali bin Abi Talib
telah menerima wasiat sebagai Khalifah Rasulullah.
3.
Masuknya ilmu filsafat Yunani kedalam Islam.
Pengaruh
filsafat yunani kedalam pemikiran kalam di dunia Islam agaknya susah untuk kita
pungkiri ini dapat dibuktikan dengan beberapa catatan-catatan sejarah yang
sampai pada kita saat ini.
Berawal dari Alexander agung menaklukkan Darius[45]
pada tahun 331 sehingga timbullah pusat-pusat kebudayaan yunani
ditimur, seperti Alexadria di mesir, antiokia di suriah, Jundisyapur di
Mesopotamia dan Petra di Persia.[46]
Walau memang Pada masa Dinasti Umayyah, pengaruh kebudayaan Yunani terhadap
Islam belum begitu nampak karena ketika itu perhatian penguasa Umayyah lebih
banyak tertuju kepada kebudayaan Arab.
Namun,
ketika Dinasti Abbasiah terutama khalifah Al-Ma’un (813-833 M) dan Harun
Ar-rasyid berkuasa mereka sangat tertarik pada ilmu kedokteran yunani dengan
system pengobatannya, tetapi kemudian mereka juga mempelajari ilmu filsafat.
Karena itulah buku-buku ilmu dari yunani diterjemah kedalam bahasa arab
sehingga dapat di baca oleh umat islam[47].
Golongan
yang banyak tertarik kedalam filsafat yunani adalah kaum Mu’tazilah yang
bercorak rasional dan liberal. Diantara tokohnya adalah Abu huzail Al-laf,
Ibrahim An-nazam, Biisyr Al-mu’tamir, Al-juba’I, berkembang di Baghdad dan
Basrah mulai abad ke-8. Zaman kejayaannya antara 817-845 M dengan kehidupan
kedua sekitar tahun 1000 M. Ahli Mu’tazilah meminjam konsep-konsep Yunani tanpa
mengikat diri pada suatu sistem tertentu[48]. Menurut Nurcholis Madjid, dalam bukunya yang
berjudul Khazanah
Intelektual Islam,[49] Mu’tazilah
merupakan pendiri ilmu kalam yang sebenarnya dalam islam.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Setelah wafatnya ‘Utsman bin Affan,
kemudian kekhalifahan digantikan oleh ‘Ali bin Abi Thalib, tetapi karena adanya
keinginan dari sahabat lain yang ingin menjadi khalifah, di antaranya Talhah
dan Zubair yang disokong ‘Aisyah, maka terjadilah peperangan antara mereka di
Irak pada tahun 656 M (perang jamal), akhirnya ‘Ali bisa mengalahkan mereka. Selanjutnya ‘Ali berhadapan dengan Mu’awiyah bin
Abi Sufyan yang masih keluarga ‘Utsman. Diakhir perang ini kelompok Ali
terpecah menjadi dua. Kelompok yang pertama setia kepada Ali yaitu Syiah dan
yang sebaliknya disebut Khawarij.
Menutur Prof. Sahilun A. Nasir, dalam bukunya Pemikiran kalam (Teologi Islam): sejarah,
ajaran dan perkembangannya, Secara garis besar Firqoh-firqoh (golongan)
teologi dalam islam terbagi menjadi 7 yakni, Syi’ah, Khawarij, Qadariyah,
Jabariyah, Mur’jiah, Mu’tazilah dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Kemudian hari
yang muncul lagi adalah turunan dari ketujuh firqoh-forqoh tersebut
Munculnya
Permasalahan Teologi islam disebabkan
oleh beberapa faktor antara lain, pertama: Faktor (Politik/kekuasaan) diawali pertikaian politik antara Mu’awiyah dan Ali bin Abi
Thalib.
Kedua: Faktor Fitnah Abdullah bin saba’. Dengan berkembangnya fitnah yang dihebuskan oleh
Saba’ kedalam masyarakat umat islam sehehingga muncullah benih perpecahan. Ketiga:
Masuknya filsafat yunani kedunia islam, diawali dari Alexander agung menaklukkan Darius kemudian semua buku-buku dari yunani diterjemah
dalam bahasa arab sehingga mempermudah masyarakat islam pada saat itu untuk
belajar terutama ilmu kedokteran dan ilmu filsafat. Ini diamini oleh Mu’tazilah.
Yang lebih mengutamakan akal.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
Asy’arie,
Musa, Dialektika Agama untuk Pembebasan Spritual, Yogyakarta: Lesfi,2002.
Abu
Zahrah, Muhammad, Tarikhul-Mazahibul-Islamiyyah,
vol. I, Daril Fikril-'Arabi, tt.
Afifuddin dan
Beni Ahmad, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Pustaka Setia, 2009.
Agustin,
Risa, kamus lengkap bahasa Indonesia, Surabaya: Serba jaya, tt;
Al-Musawi, Syarafuddin, Dialog
Sunnah dan Syi'ah, terj. Muhammad al-Baqir, Bandung: Mizan, 1983.
Ansary,
Tamim, Dari Puncak
Bagdad, Sejarah Dunia Versi Islam (cetakan ke-2), Jakarta selatan: Penerbit Zaman, 2010.
Ar-Rifa’I,
Muhammad Nasib, Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtishari
Tafsir Ibnu Katsir, penerjemah Syihabuddin, Jakarta: Gema Insani
Press, 1999.
Departemen
Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, Jakarta: Departemen Agama RI,
2008.
Esha, Muhammad
In’am,
Sejarah sosial Pengetahuan Islam, mencermati dinamika dan aras perkembangan kalam islam kontenporer, Yogyakarta: Elsaq Press, tt.
Madjid, Nurcholis, Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Mahzum, Muhammad, Meluruskan Sejarah Islam Studi Kritis
Peristiwa Tahkim, terj. Rosihon Anwar, Bandung: Pustaka Setia, 1999.
Nasir, Sahilun A, Pemikiran kalam (Teologi Islam): sejarah, ajaran dan
perkembangannya, Jakarta: PT. Rajagrafindo persada, cet 2, 2012.
Nasution, Harun,
Teologi islam: Aliran-aliran sejarah perbandingan, Jakarta: Ui Press, 1986.
Vardiansyah, Dani Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Jakarta: Indeks, 2008.
Qodratillah,
Meity Taqdir, Kamus Bahasa Indonesia
untuk pelajar, Jakarta: BPPB Kemendikbud RI, 2011.
Reese,
Willieam L, Dictionary of philosophy and
Religion, USA: Humanities Press, 1980.
Rozak, Abdul,
Ilmu Kalam, Bandung: CV Pustaka Setia, 2001.
Saryono, Metodologi Penelitian Kualitatif dalam Bidang
Kesehatan, Yogyakarta:
Nuha Medika, 2010.
Somantri, Gumilar
Rusliwa, “Memahami Metode Kualitatif”, dalam Jurnal Sosial Humaniora, vol. 9, no. 2,
Desember, Tahun 2005.
Sugiyono,
Metode Penelitian Pendidikan
Pendekatan Kuantitaf, Kualitatif, dan R&D, Bandung:
Alfabeta, 2011.
Yusuf,
M. Yunan, Alam Pikiran Islam Pemikiran
Kalam, Jakarta: Perkasa, 1990.
[2]Tamim Ansary, Dari Puncak Bagdad, Sejarah Dunia Versi Islam (cetakan
ke-2), (Jakarta selatan:
Penerbit Zaman, 2010), hal. 132-135
[3]Harun Nasution, Teologi islam: Aliran-aliran , sejarah perbandingan, Jakarta: Ui Press, (Jakarta: UI-Press, 2010) hal.
3
[4] Musa
Asy’arie, Dialektika Agama untuk
Pembebasan Spritual, (Yogyakarta: Lesfi, 2002), lihat khusus pada
bagian pluralitas.
[5] Muhammad In’am Esha, Sejarah sosial Pengetahuan Islam, mencermati dinamika dan
aras perkembangan kalam islam kontenporer, (Yogyakarta:
Elsaq Press,
tt),
hal. 15.
[6]Afifuddin dan
Beni Ahmad, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hal 165
[7]Saryono, Metodologi Penelitian Kualitatif dalam Bidang
Kesehatan, (Yogyakarta:
Nuha Medika, 2010) hal. 1
[8]Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan
Kuantitaf, Kualitatif, dan R&D,
(Bandung: Alfabeta, 2011), hal. 15
[9]Gumilar Rusliwa
Somantri, “Memahami Metode Kualitatif”, (dalam Jurnal Sosial Humaniora, Tahun 2005, vol. 9,
no. 2, Desember), hal 65.
[10]Risa Agustin, kamus lengkap bahasa Indonesia,
(Surabaya: Serba jaya, tt) hal: th.
[11]Meity Taqdir Qodratillah, Kamus Bahasa Indonesia untuk pelajar, (Jakarta: BPPB Kemendikbud RI, 2011) Hal. 179
[14] Willieam L.
Reese, Dictionary of philosophy and
Religion, (USA: Humanities Press, 1980) hal. 28
[15]Prof. Sahilun A. Nasir, Pemikiran kalam (Teologi Islam): sejarah, ajaran dan
perkembangannya, (Jakarta: PT.
Rajagrafindo persada, cet 2, 2012) hal.v
[16]istilah skolastik adalah kata sifat yang berasal dari kata school
yang berarti sekolah. Jadi, skolastik berarti aliran atau yang berkaitan dengan
sekolah (pendidikan). Perkataan skolastik merupakan corak khas dari sejarah
filsafat abad pertengahan. Dan filsafat skolastik adalah filsafat
yang mengabdi pada teolog atau filsafat yang rasional memecahkan
persoalan-persoalan mengenai berfikir, sifat ada, kejasmanian, kerohanian, baik
buruk. Dari rumusan tersebut kemudian muncul istilah skolastik Yahudi,
skolastik Arab dan lain-lainnya.
[17] M. Yunan Yusuf, Alam
Pikiran Islam Pemikiran Kalam, (Jakarta: Perkasa, 1990), hal 3-6.
[18]Meity Taqdir Qodratillah, Kamus Bahasa Indonesia untuk pelajar, hal. 182
[19]Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Taisiru al-Aliyyul Qadir li
Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir, penerjemah Syihabuddin, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999)
hal. 496
[20] Maksudnya: meninggalkan agama
tauhid dan menganut perbagai kepercayaan menurut hawa nafsu mereka, lihat dalam
Al-Qur,an Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, (Jakarta:
Departemen Agama RI, 2008), hal 824.
[21]Majalah Furqon, Sabai’sme antara realita dan mitos, Edisi
6 Tahun V/Muharram 1427 H, (Jawa
timur: Lajnah Dakwah ma’had Al-Furqon)
hal. 1
[22]Pertempuran ini terjadi di antara
dua kubu yaitu, Muawiyah
bin Abu Sufyan
dan Ali
bin Abi Talib di
tebing Sungai
Furat yang kini
terletak di Syria (Syam) pada 1 Shafar tahun 37
Hijriah ini juga disebut perang saudara dalam islam pertama secara besar-besaran.
Faktor terpenting meletusnya perang Shiffin adalah penolakan Muawiyah untuk
berbaiat kepada Imam Ali dengan dalih
bahwa Imam Ali terlibat dalam kasus pembunuhan Usman. Lihat buku terjemahan Muhammad Mahzum, Meluruskan Sejarah Islam Studi Kritis
Peristiwa Tahkim, terj. Rosihon Anwar, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal.
17-19.
[23] Harun Nasution, Teologi
islam: Aliran-aliran sejarah
perbandingan , (Jakarta: Ui Press, 1986) hal.12
[24]
Prof. Sahilun A. Nasir, Pemikiran kalam (Teologi Islam): sejarah, ajaran dan
perkembangannya, hal. xvi-xvii.
[25]
Risa Agustin, kamus lengkap bahasa Indonesia. th.
[26]
Syarafuddin
al-Musawi, Dialog Sunnah dan Syi'ah, terj. Muhammad al-Baqir, (Bandung: Mizan,
1983), hal. 140.
[27] Muhammad, Abu Zahrah, Tarikhul-Mazahibul-Islamiyyah,
vol. I, (Daril Fikril-'Arabi, tt), hal. 36.
[28] Harun Nasution, Teologi islam: aliran-aliran sejarah analisa
perbandingan, (Jakrta: UI-Pres, 20012), hal. 8
[29]HR
al-Ajurri, Lihat asy-Syari’ah, hal. 33
[30]Ibnu Taimiyyah, Qoidatu Ahlussunah Wal Jama'ah (Kaidah Ahlussunah Wal Jama'ah) terj, (Solo: At-Tibyan, 2002), hal. 16
[31] Harun Nasution, Teologi islam: aliran-aliran sejarah analisa
perbandingan, hal. 34
[33] Abdul Rozak, Ilmu Kalam, (Bandung: CV Pustaka Setia,
2001), hal. 56
[35]
lihat dalam Al-Qur,an Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, (Jakarta:
Departemen Agama RI, 2008), hal…
[36]
Harun Nasutian, Teologi Islam (Aliran-Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan), hal. 40
[37] Musthafa
Muhammad Syak’ah, Islam Tanpa Mazhab, Terj. Abu Zaidan Al-Yamani & Abu Zahrah
Al-Jawi (Solo: Tiga Serangkai, 2008), hal.
489
[39] Syekh omar bakri Muhammad, Ahlus
Sunnah wal Jama’ah, (Jakarta:
Gema Insani, 2005), hal. 119
[40]Tahkim adalah persetujuan anatara kedua
pihak yang berselisih untuk menerima keputusan tertentu dalam menyelesaikan
perselisihan mereka. Peristiwa tahkim sendiri secara lebih khusus diartikan
sebagai perseyujuan antara pihak Saidina Ali dengan Mu’awiyah yang berselisish
dalam menerima keputusan secara adil dalam perselisihan mereka. Lihat buku
terjemahan Muhammad Mahzum, Meluruskan
Sejarah Islam Studi Kritis Peristiwa Tahkim, terj. Rosihon Anwar, (Bandung:
Pustaka Setia, 1999), hal. 17-19.
[41]
Harun Nasution, Teologi islam: aliran-aliran sejarah analisa
perbandingan.
[42]
Lihat biografi Abdullah bin
Saba’ selengkapnya di Tarikh Dimasyq 3/29, Tarikh Thabari, Al Kamil karya Ibnul Atsir, Al Ma’arif hal.622 karya Ibnu Qutaibah, Mizanul
I’tidal 2/426, Al Milal wan Nihal hal.365
karya Asy-Syihristani, Al Wafi bil Wafayat 17/189.
[44]
Silahkan Lihat https://id.wikipedia.org/wiki/Abdullah_bin_Saba' (diakses tgl 11/9/2015).
[45]
kawasan Arbela sebelah
timur sungai Tigris
[46]
Ghufron A. Mas’adi, Ensiklopedi IslamI, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1999), hal. 16
[47] Silvia yudhira, Ensiklopedi
islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2000) hal. 17
[48] Suko Susilo, Sejarah
peradaban Islam, kajian teks, reflektif dan filosofis, (Surabaya: Jenggila
Pustaka Utama, 2005) hal. 130
Tidak ada komentar:
Posting Komentar