ANALISIS
PROBLEMATIKA UANG KERTAS DALAM TRANSAKSI
EKONOMI
MASRIL
angkatmasril@gmail.com
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Dalam kegiatan perekonomian masa modern saat ini ada banyak pihak dan hal yang terlibat. Dalam hal ini uang dan
lembaga perbankan memegang peranan yang sangat penting. Karena uang merupakan
alat pembayaran yang berlaku sekarang untuk semua transaksi jual-beli baik
secara langsung maupun secara tidak langsung. Keberadaan uang menyediakan
alternatif transaksi yang lebih mudah daripada barter yang tidak efisien dan
kurang cocok digunakan dalam sistem ekonomi modern karena membutuhkan orang
yang memiliki keinginan yang sama untuk melakukan pertukaran dan juga kesulitan
dalam penentuan nilai. Efisiensi yang didapatkan dengan menggunakan uang pada
akhirnya akan mendorong perdagangan dan pembagian tenaga kerja yang kemudian akan
meningkatkan produktivitas dan kemakmuran.
Lembaga perbankan berperan dalam lalu lintas uang dan surat-surat
berharga dalam perekonomian terutama Bank Sentral.
Pada umumnya Bank dikenal sebagai lembaga keuangan yang kegiatan utamanya
adalah menerima simpanan, giro, tabungan dan deposito. Kemudian bank dikenal
juga sebagai tempat untuk meminjam uang (kredit) bagi masyarakat yang
membutuhkannya. Disamping itu, bank juga dikenal sebagai tempat untuk menukar
uang, atau menerima segala bentuk pembayarab seperti pembayaran listrik,
telepon. dll.
Sehingga uang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia dalam
menjalani kegiatan ekonomi maupun non ekonomi. sehingga ada berpendapat yang
mengatakan bahwa uang merupakan darahnya perekonomian. didalam kehidupan masyarakat
modern dewasa ini, dimana mekanisme perekonomian berdasarkan lalu lintas barang
dan jasa semua kegiatan-kegiatan ekonomi akan memerlukan uang sebagai alat
pelancar guna mencapai tujuannya. Uang, dalam model sederhana ini berperan
sebagai alat untuk memperlancar transaksi dan menyimpan nilai serta mengukur
nilai, sebagai alat untuk transaksi, uang mempermudah transaksi antara pihak
penjual dan pembeli.
Disamping banyaknya kemudahan yang terdapat
dalam pengunaan uang kertas diatas tentunya juga akan ada sisi negatifnya.
Setidaknya ada masalah pada sisi
selisih nilai didalam mata uang kertas (fiat money) antara nilai
instrinsik dan nilai nominalnya, maka pastilah ada pihak yang akan diuntungkan.
Dalam konteks bisnis, pencetakan mata uang kertas (fiat money) merupakan
bisnis yang sangat menggiurkan. Bayangkan saja dalam sebuah ilustrasi, jika
anda membuat sebuah produk A dengan biaya total produksi hanya Rp 400. Kemudian
Produk A tersebut dijual seharga Rp 1.000, maka sudah untung Rp 600. Lantas
kalau dijual seharga Rp 10.000, maka akan untung Rp 9.600. Atau bahkan kalau
dijual seharga Rp 100.000, maka akan untung Rp 99.600. Coba bayangkan jika anda
mencetak 1000 lembar uang RP 100.000, berapa keuntungan akan anda peroleh ?.
Semakin tinggi anda menjualnya (angka nominalnya) maka keuntungan semakin
banyak, karena berapapun anda jual, total biaya produksi tetap sama yaitu Rp
400 perlembar.
Mangaju pada kebaikan dan negative dari
uang diatas Sehingga menarik untuk
dikaji lebih detail mengenai Apa saja Problematika Uang Kertas Dalam
Transaksi Ekonomi.
B.
METODE PEMBAHASAN
Adapun metode pembahasan dalam tulisan ini Sesuai dengan Latar
belakang masalah yang telah di kemukakan di atas maka penulis akan melakukan
studi analisis kepustakaan[1]
dengan mengunakan metode kualitatif. Penelitian
kualitatif merupakan penelitian yang digunakan untuk menyelidiki, menemukan,
menggambarkan, dan menjelaskan kualitas atau keistimewaan dari pengaruh social
yang tidak dapat dijelaskan, diukur atau digambarkan melalui pendekatan
kuantitaif
Sogiyono menyimpulkan bahwa metode penelitian kulitatif adalah
metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme,
digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya
eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci, pengambilan sampel
sumber data dilakukan secara purposive dan snowbaal, teknik
pengumpulan dengan trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat
induktif/kualitaif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari
pada generalisasi.[2]
Penelitian kualitatif berusaha untuk mengangkat secara ideografis
berbagai fenomena dan realitas sosial. Pembangunan dan pengembangan teori
sosial khususnya sosiologi dapat dibentuk dari empiri melalui berbagai fenomena
atau kasus yang diteliti. Dengan demikian teori yang dihasilkan mendapatkan
pijakan yang kuat pada realitas, bersifat kontekstual dan historis. Metode
penelitian kualitatif membuka ruang yang cukup bagi dialog ilmu dalam konteks
yang berbeda, terutama apabila ia difahami secara mendalam dan “tepat”. Dalam
kaitan ini, serangkaian karakter, jenis dan dimensi dalam metode kualitatif
memberikan manfaat yang besar kepada ilmuwan sosial di Indonesia. Khusunya dan
Dunia Islam umumnya
Adapun teknik analisis data dalam penelitian ini yaitu sebagai
berikut: Analisis deskriptif yaitu usaha untuk mengumpulkan dan menyusun
suatu data, kemudian dilakukan analisis terhadap data tersebut. Analisis
deskriptif yaitu data yang dikumpulkan berupa kata-kata bukan dalam bentuk
angka-angka atau prosedur statistik.[3]
Content Analisys (analisis isi) yaitu teknik penelitian untuk membuat
inferensi-inferensi data yang dapat ditiru dan valid dengan memperhatikan
konteksnya yang berhubungan dengan isi komunikasi. Dalam penelitian kualitatif
analisis isi ditekankan pada bagaimana peneliti melihat keabsahan isi
komunikasi secara kualitatif, dan bagaimana peneliti memaknakan isi komunikasi
interaksi dari objek penelitian.[4]
Adapun tahapan langkah-langkah analisis isi yang ditempuh adalah
sebagai berikut: (a) Menentukan permasalahan, (b) Menyusun kerangka pemikiran,
(c) Menyusun perangkat metodologi, (d) Analisis data. (e) Diperiksa kebenarannya
serta diinterpretasikan sehingga menjadi suatu informasi yang bermakna.
Selanjutnya,
setelah data terkumpul dan dianalisis sebagaimana tahapan langkah-langkah dalam
analisis data, kemudian dibuat dalam bentuk rangkuman atau kesimpulan.
C.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Uang
Pengertian
uang Menurut Prathama Raharja dan Mandala Manurung uang merupakan sesuatu yang
diterima atau dipercaya masyarakat sebagai alat pembayaran atau transaksi.[5]
Subagyo
dalam bukunya menyebutkan Uang adalah sesuatu yang diterima secara umum yang
digunakan para pelaku ekonomi sebagai alat pembayaran dari transaksi ekonomi
yang dilakukan seperti pembelian barang, jasa serta pembayaran hutang.[6]
Dalam
kamus bahasa Indonesia disebutkan bahwa uang adalah alat tukar yang sah, berupa
kertas, emas, perak, atau logam lain yang dikeluarkan oleh pemerintah dengan
bentuk dan gambar tertentu.[7]
Uang dalam literatur fiqh disebut
dengan tsaman ataunuqud (jamak dari naqd) didefinisikan
oleh para ulama, diantaranya menurut Abdullah bin Sulaiman al-Mani' dan
Muhammad Rawas Qal'ah Ji sebagai
berikut:
اَلنَّقْدُ هُوَ كُلُّ وَسِيْطٍ للتَّبَادُلِ يَلْقَى قَبُوْلاً
عَامًّا مَهْمَا كَانَ ذَلِكَ الْوَسِيْطُ وَعَلَى أَيِّ حَالٍ يَكُوْنُ
Artinya: "Naqd
(uang) adalah segala sesuatu yang menjadi media pertukaran dan diterima secara
umum, apa pun bentuk dan dalam kondisi seperti apa pun media tersebut."[8]
اَلنَّقْدُ: مَا
اتَّخَذَ النَّاسُ ثَمَنًا مِنَ الْمَعَادِنِ الْمَضْرُوْبَةِ أَوْ الأَوْرَاقِ
الْمَطْبُوْعَةِ وَنَحْوِهَا، الصَّادِرَةِ عَنِ الْمُؤَسَّسَةِ الْمَالِيَّةِ
صَاحِبَةِ اْلاِخْتِصَاصِ
Artinya: "Naqd adalah sesuatu yang
dijadikan harga (tsaman) oleh masyarakat, baik terdiri dari logam atau kertas
yang dicetak maupun dari bahan lainnya, dan diterbitkan oleh lembaga keuangan pemegang
otoritas."[9]
Dapat dusimpulkan uang adalah suatu alat yang digunakan
oleh suatu masyarakat untuk mempermudah dalam bertransaksi atau sebagai alat
tukar dan sebagai alat untuk mengukur suatu barang.
Fungsi Uang
Uang mempunyai
beberapa fungsi, diantaranya adalah: Pertama, Uang sebagai alat tukar. Kedua, Uang sebagai
satuan hitung. Ketiga, Uang sebagai penimbun kekayaan. Keempat, Uang
sebagai standar pencicilan hutang.[10].
Namun, saat ini uang juga sudah dijadikan sebagai komoditi.
Para ulama dan
ilmuan islam menyepakati fungsi uang sebagai alat tukar saja. Ulama tersebut
diantaranya: Imam Ghazali, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ar-Raghib,
al-Ashbahani, Ibnu Khaldun, al-Maqrizi dan Ibnu Abidin.[11]
Jenis Uang
Jenis uang
dapat dibagi menjadi, (a) Berdasarkan bahan diantaranya: Pertama, Uang
logam, merupakan uang dalam bentuk koin yang terbuat dari logam, baik dari
alumunium, kupronikel, bronze, emas, perak, atau perunggu dan bahan lainnya. Kedua,
Uang kertas, merupakan uang yang bahannya terbuat dari kertas atau bahan
lainnya. (b) Berdasarkan nilai, diantaranya: Pertama. Bernilai penuh
(full badied money), merupakan yang nilai intrinsiknya sama dengan nilai
nominalnya. Kedua, Tidak bernilai penuh (representatif full badied
money), merupakan uang yang nilai intrinsiknya lebih kecil dari nilai
nominalnya. (c) Berdasarkan lembaga. Diantanya: Pertama, Uang kartal,
merupakan uang yang diterbitkan oleh bank sentral baik uang logam maupun uang
kertas. Kedua, Uang giral, merupakan uang yang diterbitkan oleh bank
umum seperti cek, bilyet giro, traveller chengue dan credit card. (d) Berdasarkan
kawasan. Diantanya: Peratama, Uang lokal, merupakan uang yang berlaku di
suatu negara tertentu. Kedua, Uang regional, merupakan uang yang berlaku
di kawasan tertentu yang lebih luas dari uang lokal. Ketiga, Uang
internasional, merupakan uang yang berlaku antar Negara didunia yang tidak
berdasarkan regional maupun lainya yang bersifat membatasi wilayah .[12]
2. Sejarah Singkat Awal Penggunaan Uang Kertas
Transaksi ekonomi dalam sejarahnya diawali dari sistem
barter, dalam sisitem barter ini terdapat banyak kelemahan sehingga kemudian
masyarakat berpindah mengunakan logam seperti dinar dan dirham sebagai uang. Pada saat ini diseluruh dunia mengunakan uang kertas
dengan pertimbangan adanya kemudahan dalam mengunakannya dan cara
memperolehnya.
Dinar dan
dirham[13]
dikenal oleh orang Arab jauh sebelum Uang kertas datang. Dalam aktivitas
perdagangannya, para pedagang Arab ini berinteraksi dengan banyak bangsa. Saat
pulang dari Syam, mereka membawa dinar emas Romawi (Byzantium), dan yang pulang
dari Iraq, mereka membawa dirham perak Persia (Sassanid).
Cerita uang dalam dunia islam terus berlanjut sepanjang sejarah hingga beberapa saat menjelang
Perang Dunia I ketika dunia menghentikan penggunaan emas dan perak sebagai mata
uang. Penggunaan mata uang emas-perak ini kian
lama kian susut. dan berakhir ketika
Kekhalifahan Turki Utsmaniyah runtuh pada tahun 1924.
Berawal dari masa ini negara-negara islam sampai selanjutnya dibawah
kekuasaan negara kolonialisme dan imperalisme barat.
Konferensi Bretton Woods 1994
Cerita
Bretton Woods ini bermula pada bulan July tahun 1944 ketika Amerika (sekutu) merasa telah memenangi sebagian besar Perang
Dunia II, maka mereka memprakarsai konferensi di Bretton Woods, New Hampshire. AS yang kelak akan mengatur system keuangan dunia seperti menyangkut dana moneter internasional, bank dunia, dan organisasi perdagangan dunia bersama dengan Inggris.
Inti
kesepakatan Bretton Woods awalnya adalah janji Amerika Serikat untuk mendukung
uang Dollarnya secara penuh dengan emas yang nilainya setara. Kesetaraan ini
mengikuti konversi harga emas yang ditentukan tahun 1934 oleh Presiden
Roosevelt yaitu US$ 35 untuk 1 troy ons emas. Negara-negara lain yang
mengikuti kesepakatan tersebut awalnya diijinkan untuk menyetarakan uangnya
terhadap emas ataupun terhadap Dollar.[14]
Dengan sekian
permasalahan yang ada pada ekonomi internasional keruntuhan Sistem Bretton Woods semakin terasa sehingga membuat The Fed tergiur mencipta dollar
melebihi kapasitas emas yang dimiliki. Akibatnya, terjadi krisis kepercayaan
masyarakat dunia terhadap dolar AS. Hal tersebut ditandai dengan peristiwa
penukaran dollar secara besar-besaran oleh negara-negara Eropa. Adalah Perancis,
pada masa pemerintahan Charles de Gaule, negara yang pertama kali menentang
hegemoni dollar dengan menukaran sejumlah 150 juta dollar AS dengan emas.
Tindakan Perancis ini kemudian diikuti oleh Spanyol yang menarik sejumlah 60
juta dollar AS dengan emas. Praktis, cadangan emas di Fort Knox
berkurang secara drastis. Ujungnya, secara sepihak, Amerika membatalkan Bretton
Woods System melalui Dekret Presiden Nixon pada tanggal 15 Agustus 1971, yang
isinya antara lain, USD tidak lagi dijamin dengan emas. ‘Istimewanya’, dollar
tetap menjadi mata uang internasional untuk cadangan devisa negara-negara di
dunia sampai
saat ini. Pada titik ini, berlakulah sistem baru yang disebut
dengan floating exchange rate. [15]
Sejak Dekret Presiden Nixon pada tanggal
15 Agustus 1971. Uang kertas akan berlaku tidak
lagi perlu adanya kaitan dengan cadangan emas yang dimiliki oleh suatu negara.
Akhirnya sistem Bretton
Woods bubar pada tahun 1976 setelah beberapa
negara di Eropa mengalami
kehancuran ekonomi sehingga tidak lagi bisa menjadi partner perdagangan Amerika Serikat, disamping itu
resesi ekonomi dunia yang
berlangsung besar-besaran pada periode waktu itu telah mendorong negara-negara
di dunia untuk mengedepankan kepentingan nasionalnya masing-masing.[16]
Ironisnya
bukan ini yang terjadi, kurang lebih empat bulan setelah terang-terangan
Amerika mengingkari janjinya di Bretton Woods, tepatnya tanggal 18 Desember
1971 mereka melahirkan apa yang disebut Smithsonian Agreement.
Perjanjian
yang diteken di Smitsonian Institute bersama negara negara industri yang
disebut G 10 ini lah yang menandai berakhirnya era fixed exchange rate dengan
back up emas, menjadi rejim floating exchange rate yang diikuti oleh seluruh
negara anggota IMF termasuk Indonesia sampai sekarang. Artinya uang kertas yang
berdar saat ini disemua negara tidak lagi di beck up oleh cadangan emas.
Umar Ibrahim
Vadillo mengatakan penggunaan uang kertas adalah mesin utama tegaknya kapitalisme di
dunia saat ini. Saat
sebagian umat Islam merayakan kemunculan bank syariah, misalnya, Vadillo
justru mengeritiknya. Bank syariah adalah kuda troya dalam rumah Islam,
Kritik serupa juga ia tujukan pada asuransi syariah, pasar modal syariah, kartu
kredit syariah dan perbagai produk perbankan lainnya yang kini ramai dilabeli
kata “syariah”. Menurut Vadillo, Semua labelilasi syariah itu hanya merupakan
upaya terselubung sekelompok pihak untuk melemahkan perlawanan Islam menentang
riba selama 14 abad. Selama umat islam masih mengunakan uang kertas (fiat money).[17]
3. Analisis
Problematika Uang Kertas Dalam Transaksi
Ekonomi
Dalam Islam dikatakan bahwa uang
yang mengacu pada “komoditas” seperti emas dan perak itu sangat sesuai dengan
uang yang dimaksudkan dalam maqashid al-Shariah, sedangkan uang kertas saat ini
tidak sesuai dengan maqashid al-Shariah.[18] Seperti yang kita ketahui bahwa uang kertas yang beredar saat ini disemua negara tidak
lagi di beck up oleh cadangan emas sehingga memunculkan bebarapa masalah dalam
transaksi ekonomi adapun problematika dalam pengunaan uang kertas tersebut
dapat dilihat dari berbagai sudut pandang diantaranya:
Pertama, “Seigniorage”[19]
Pada Uang Kertas. Menurut Syekh Taqiyuddin an-Nabhany, secara politis langkah
yang dilakukan oleh AS untuk menghentikan pengkaitan Dollar dengan emas adalah
didorong oleh keinginan AS untuk memposisikan dollar sebagai standar moneter
internasional hingga menguasai pasar moneter internasional. Oleh karena itu
standar emas kemudian dianggap tidak lagi dapat dipergunakan di dunia. Standar moneter Bretton Woods kemudian hancur dan kurs pertukaran
mata uang terus berfluktuasi tak terkendali sampai detik ini[20]
Uang
kertas telah menjadi sumber pemasukan pemerintah yang paling mudah. Dengan biaya produksi
yang sangat rendah dibanding nilai nominal yang dikandungnya, mereka dengan
mudah mencetak uang-uang kertas (di sejumlah negara dilakukan oleh Bank
sentral). Uang tersebut kemudian ‘dipaksakan’ kepada rakyat untuk diterima
sebagai alat tukar. Dengan menukarkan menukarkan uang tersebut dengan barang
dan jasa yang diproduksi oleh rakyatnya, pemerintah dapat menikmati hasil
keringat rakyatnya dengan mudah. Dengan kata lain mata uang kertas telah
menjadi alat pemerasan negara terhadap rakyatnya. Rakyat kemudian menjadi
korban dengan inflasi yang tinggi.
Contoh, Penerimaan pemerintah Argentina misalnya dari
pencetakan uang baru pada tahun 1985-1990, diperkirakan mencapai 54 persen dari
total pendapatannya. Bahkan pada
tahun 1987 mencapai 86%. Akibatnya nilai peso terus melemah dan menjadi tidak
stabil.[21]
Rakyat
Pakistan juga menjadi korban dari penggunaan fiat
money ini. Pada tahun 1991-1996 pertumbuhan
jumlah uang beredar di negara tersebut mencapai 10,6 persen. Selama periode
tersebut pemerintah Pakistan diperkirakan memperoleh penerimaan sebesar 97,173
miliar rupee hanya dari pencetakan uang kertas.
Sebenarnya bukan hanya terjadi di negara negara tersebut diatas tapi
terjadi pada semua negara yang ada didunia termasuk Indonesia.
Kedua, Penggunaan
mata uang kertas menciptakan ketidakadilan dalam kegiatan ekonomi dunia.
Sebagai contoh biaya untuk
memproduksi uang kertas 100 dollar adalah 20 sen maka seignorage-nya sebesar 99.80 dollar. Dengan kata lain setiap kali AS
mencetak satu lembar uang 100 dollar, maka ia akan mendapatkan keuntungan 99,80
dollar. Federal Reserve, bank
sentral AS telah
menikmati seignorage yang sangat besar dengan
mengeluarkan dollar sejak mata uang tersebut menjadi cadangan mata uang internasional
yang paling dominan. Dollar memiliki daya beli yang kuat di luar AS sehingga
dengan leluasa AS memanfaatkan kesempatan ini untuk terus mencetak Dollar.
Dengan kemampuan mencetak
dollar pemerintah AS dapat membeli dari seluruh dunia apapun yang mereka
inginkan. Sebagai mata uang internasional dollar dapat terus dicetak oleh AS
berapapun yang ia kehendaki untuk membiayai kebijakan fiskalnya termasuk
membiayai politik luar negerinya. Untuk Perak Irak misalnya sebagaimana yang
dinyatakan oleh Joseph E Stiglitz di dalam bukunya The Three Trillion Dollar War nilainya
lebih dari 3 triliun dollar.
Barang
dan jasa yang diproduksi oleh negara-negara lain terus mengalir ke negara
tersebut jauh diatas nilai ekspornya.
Di
sisi lain negara-negara berkembang justru mengalami kerugian yang luar biasa
akibat praktek seignorage ini. Salah
satu contoh yang paling nyata adalah pembelian minyak oleh AS sebesar 12
juta barrel per hari untuk menutupi defisit produksinya. Sebagian besar minyak
tersebut dibeli dari Arab Saudi dengan hanya mencetak Dollar baru yang kemudian
ditransfer ke rekening pemilik perusahaan minyak Arab Saudi. Meski Arab Saudi
dapat membeli barang lain
dengan lembaran-lembaran dollar tersebut namun pada faktanya tetap saja biaya
yang dikeluarkan untuk melakukan investasi dan penambangan minyak jauh lebih
besar dibandingkan dengan biaya pembuatan Dollar AS.
Sehingga keadilan ekonomi Internasional tidak tercapai
dengan baik dalam hal ini negara-nagara lain di dzalimi oleh negara pemilik
dollar.
Ketiga, Uang Kertas digunakan sebagi wadah spekulasi.[22] Akibat nilainya yang tidak stabil mata uang kertas khususnya
dengan rezim bebas mengambang telah menjadi sarana spekulasi yang ganas.
Uang tidak lagi difungsikan semata untuk menjadi alat tukar, alat untuk
menyimpan dan menghitung kekayaan riil, namun justru lebih banyak digunakan
untuk kegiatan spekulasi.
Krisis moneter yang menimpa
negara-negara Asia, Argentina dan Rusia pada tahun 1998 diakibatkan oleh sistem nilai tukar yang tidak stabil.
Episentrum krisis yang bermula di Thailand tersebut dimulai dari derasnya uang
spekulatif yang panas (hot money) yang mengalir deras ke negara tersebut untuk membeli saham-saham
properti. Akibatnya nilainya terus menggelembung (bubble) jauh melebihi nilai riilnya. Ketika terjadi goncongan modal spekulatif yang liar tersebut berbalik arah dan
mengakibatkan nilai tukar bath jatuh. Efeknya kemudian menjalar kemana-mana
termasuk ke Indonesia. Rupiah bahkan sempat menyentuh 16 ribu per dolar.
Para spekulan sangat
diuntungkan dengan adanya pergerakan (fluktuasi) nilai tukar satu mata uang
terhadap mata uang lainnya. Sementara pemerintah (dalam hal ini bank sentral)
dipaksa untuk terus menjaga nilai tukar mata uangnya. Diantaranya melalui
intervensi dengan ikut menjual dan membeli devisa, meski devisa itu kadang
diperoleh diperoleh dari utang LN. Sebagai contoh pada akhir 1998 IMF
memberikan utang kepada pemerintah Brazil senilai 50 miliar dollar untuk
menjaga nilai tukarnya yang mengalami overvalued. Namun sayang intervensi pemerintah tersebut sia-sia, sementara
uang utangan tadi seakan hilang ditelan angin. Uang tersebut sebagian besar
mengalir ke kantong-kantong para spekulan. Beberapa
spekulan merugi namun secara umum para spekulanlah yang memperoleh seluruh uang
yang dikucurkan pemerintah tersebut. Akan lain ceritanya jika dana tersebut
digunakan untuk membiaya sektor riil yang dapat menggerakkan perekonomian Brazil.[23]
Adanya peluang spekulasi di
pasar uang plus pasar modal, justu membuat uang yang diperoleh dari sektor riil (main street) mengalir deras sektor non riil
tersebut (wall street). Dana-dana hasil penjualan
minyak Timur Tengah misalnya yang lazim dikenal denganSovereign
Wealth Fund (SWF) kini lebih banyak
diinvestasikan di portofolio (saham, obligasi, atau surat-surat berharga
lainnya) baik yang dterbitkan pemerintah ataupun swasta. Abu
Dhaby Investment Authority (ADIA) misalnya, milik
pemerintah Uni Emirat Arab, kini memiliki SWF sebesar US$ 1,32 triliun.
Dana-dana tersebut kini digunakan membeli sejumlah saham perusahaan kelas dunia
baik yang tengah yang tengah kolaps maupun yang sedang boomingtermasuk membeli saham klub sepak bola Inggris Manchaster City.
Dana-dana tersebut tentu akan sangat berguna bagi jutaan manusia jika
diinvestasikan pada sektor riil yang produktif seperti pembangunan
infrastruktur, bantuan kemanusiaan kepada orang-orang miskin yang jumlah jutaan
di negeri-negeri Islam.
Keempat, legitimasi mata uang (fiat money) kertas sangat rapuh. Mengapa legitimasi
mata uang kertas sangat rapuh sebab ia sama sekali tidak disandarkan pada
komoditas yang bernilai seperti emas dan perak. Ia hanya ditopang oleh
undang-undang yang dibuat pemerintahan suatu negara. Jika keadaan politik dan
ekonomi negara tersebut tidak stabil maka tingkat kepercayaan terhadap mata
uangnya juga akan menurun. Para pemilik uang akan beramai-ramai beralih ke mata
uang lain atau komoditas yang dianggap bernilai sehingga nilai uang tersebut
terpuruk.
Sebagai contoh ketika terjadi kegoncangan pasar modal (market
crash) yang mengakibatkan depresi pada tahun 1929, orang-orang di seluruh
dunia mulai menampakkan ketidakpercayaannya terhadap uang kertas sehingga
mereka berlomba-lomba menimbun(hoarding) emas dan meninggalkan mata uang mereka. Di AS, nilai dolar makin
kritis sehingga Presiden Rosevelt tidak memiliki pilihan kecuali menghentikan
produksi mata uang emas dan memenjarakan orang yang menyimpan emas dan
mengenakan denda dua kali dari emas yang disimpan.[24]
Problematika Uang Kertas Yang Kontroversi
Zaim Saidi mengatakan uang kertas adalah
riba dan haram hukumnya sebagai alat tukar dan pembayar zakat mal.[25] pemikiran mengenai muamalat dari Zaim Saidi adalah mengenai
uang kertas. Baginya seperti yang sudah pernah ditulis oleh Umar Vadillo[26] dan Syaikh
Abdul Qadir As Sufi bahwa merunut pada sejarah uang kertas awalnya ditopang
dengan emas. Hingga kemudian emas dilarang dan uang beredar di tengah
masyarakat tidak mencerminkan keadilan dan tujuannya sebagai alat tukar, yang
dalam Islam, dilarang untuk memperdagangkannya. Akan tetapi persoalan syariah
tidak serta merta hanya karena uang kertas lahir atas “pengkhianatan” terhadap
emas menjadi haram kedudukan hukumnya. Apalagi dari uang kertas bisa tercipta
riba seperti anggapan Zaim Saidi dalam bukunya Ilusi Demokrasi; Kritik dan Otokritik Islam (2007). Ingat
kaidah hukum syariah, La
Tuzhlimuna Wa La Tuzhlamun. Tidak ada yang menzalimi atau tidak ada
yang terzalimi.[27]
D.
KESIMPULAN
Uang adalah suatu alat yang digunakan oleh suatu masyarakat untuk
mempermudah dalam bertransaksi atau sebagai alat tukar dan sebagai alat untuk
mengukur suatu barang.
Uang mempunyai beberapa fungsi, diantaranya adalah: Pertama, Uang
sebagai alat tukar. Kedua, Uang sebagai satuan hitung. Ketiga, Uang sebagai penimbun
kekayaan. Keempat, Uang sebagai standar pencicilan hutang. Namun, saat
ini uang juga sudah dijadikan sebagai komoditi.
Para ulama dan ilmuan islam
menyepakati fungsi uang sebagai alat tukar saja. Ulama tersebut diantaranya:
Imam Ghazali, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ar-Raghib, al-Ashbahani,
Ibnu Khaldun, al-Maqrizi dan Ibnu Abidin.
Transaksi ekonomi
dalam sejarahnya diawali dari sistem barter, dalam sisitem barter ini terdapat
banyak kelemahan sehingga kemudian masyarakat berpindah mengunakan logam
seperti dinar dan dirham sebagai uang. Pada saat ini diseluruh dunia
mengunakan uang kertas dengan pertimbangan adanya kemudahan dalam mengunakannya
dan cara memperolehnya.
Dinar dan dirham dikenal oleh orang
Arab jauh sebelum Uang kertas datang. Dalam aktivitas perdagangannya, para
pedagang Arab ini berinteraksi dengan banyak bangsa. Saat pulang dari Syam,
mereka membawa dinar emas Romawi (Byzantium), dan yang pulang dari Iraq, mereka
membawa dirham perak Persia (Sassanid).
Bretton Woods
awalnya adalah janji Amerika Serikat untuk mendukung uang Dollarnya secara
penuh dengan emas yang nilainya setara. Kesetaraan ini mengikuti konversi harga
emas yang ditentukan tahun 1934 oleh Presiden Roosevelt yaitu US$ 35 untuk 1
troy ons emas
Sejak Dekret Presiden Nixon pada
tanggal 15 Agustus 1971. Uang kertas akan berlaku tidak lagi perlu adanya
kaitan dengan cadangan emas yang dimiliki oleh suatu negara.
Adapun problematika dalam pengunaan uang kertas tersebut dapat
dilihat dari berbagai sudut pandang diantaranya:
Pertama, “Seigniorage” Pada Uang Kertas. Kedua, Penggunaan
mata uang kertas menciptakan ketidakadilan dalam kegiatan ekonomi dunia. Ketiga,
Uang Kertas digunakan sebagi wadah spekulasi Keempat, legitimasi mata uang (fiat
money) kertas sangat rapuh. Kemudian ada Problematika Uang Kertas Yang
Kontroversi Zaim Saidi mengatakan uang kertas adalah riba dan haram
hukumnya.
E.
Daftar Pustaka
Al-Qur’an
Al-‘Alim, Al-Qur’an
dan Terjemahannya (edisi ilmu pengetahuan), Bandung: Mizan Pustaka. 2009
Afifuddin
dan Beni Ahmad, Metodologi Penelitian
Kualitatif, Bandung: Pustaka Setia, 2009.
Sugiyono,
Metode
Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitaf, Kualitatif, dan R&D,
Bandung: Alfabeta, 2011.
Surachman,
Winarno, Pengantar
Penelitian Ilmiah Dasar, Metode, dan Teknik, Jakarta:
Tarsita, 1990.
Bungin,
Burhan, Metodologi
Penelitian Kualitatif, Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian
Kontemporer, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007.
Rahardja
Pratama dan Mandala Manurung, Teori Ekonomi Makro, Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, 2005.
Subagyo.
dkk, Bank
dan Lembaga Keuangan Lainnya,
Yogyakarta: STIE, 2002.
Qodratillah,
Meity Taqdir, Kamus Bahasa
Indonesia untuk pelajar, Jakarta: BPPB Kemendikbud RI,
2011.
al-Mani',
Abdullah bin Sulaiman, Buhuts fi
al-Iqtishad al-Islami, Mekah: al-Maktab al-Islami,
1996.
Qal'ah
Ji, Muhammad Rawas Qal'ah Ji, al-Mu'amalat
al-Maliyah al-Mu'ashirah fi Dhau' al-Fiqh wa al-Syari'ah, (Beirut: Dar
al-Nafa'is, 1999.
Karim,
Adiwarman A. Ekonomi Makro Islam,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008.
Nasution, Mustafa Edwin dkk, Pengenalan
Ekslusif Ekonomi Islam, Jakarta: Wacana Prenda Media Group, 2006.
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
Gilpin, Robert and Jean M. Gilpin. The Political Economy of International Relations, New Jersey: Princeton University Press, 1987.
Peet, Richard, Unholy Trinity
The IMF, World Bank, and WTO. New York: Zed Books, 2003.
Winarno, Budi, Pertarungan
Negara vs Pasar, Yogyakarta: Media Pressindo, 2009.
Larbani,
Ahamed Kameel Mydin Meera Moussa, Seigniorage Of
Fiat Money And The Maqasid Al-Shari’ah, Humanomics,
Vol. 22 Iss 2, 2006.
An-Nabhany.
An Nidzamu
al-Iqtishady fi Islam, Dârul Ummah, 1999.
Abdullah, Abdul Halim dan Syukriy, Studi atas Belanja
Modal Pada Anggaran
Pemerintah Daerah dalam Hubungannya dengan Belanja Pemeliharaan
dan Sumber Pendapatan. Jurnal Akuntansi Pemerintah, ISSN:
0216-8642, Vol. 2, No. 2, 2006.
Stiglitz,
Joseph E. Dekade Keserakahan Era 90-an
dan Awal Mula Petaka Ekonomi Dunia, Penerjemah Aan Suheni, Tanggerang: Marjin Kiri, 2006.
Stiglitz, Joseph E. Globalization
and Its Discontents, New York: W.W. Norton & Company, 2003.
Davies,
Glyn. a history of
money: from ancient times to the present day, Cardiff: University of wales press, 2002.
Saidi,
Zaim. Tidak
Syar‟inya Bank Syariah di Indonesia dan Jalan Keluarnya Menuju Muamalat, Yogyakarta: Delokomotif, 2010.
Saidi,
Zaim. Ilusi
Demokrasi: Kritik dan Otokritik Islam: Menyongsong Kembalinya Tata Kehidupan
Islam Menurut Amal Madinah. Jakarta: Republika, 2007.
Vadillo,
Umar, Bank Tetap
Haram: Kritik terhadap kapitalisme, Sosialisme dan Perbankan
Syariah , Tejm. Cet.2, Jakarta: Pustaka Zaman, 2005.
[1]Afifuddin dan
Beni Ahmad, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm. 165.
[2]Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitaf,
Kualitatif, dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2011), hlm. 15.
[3]Winarno Surachman, Pengantar
Penelitian Ilmiah Dasar, Metode, dan Teknik, (Jakarta: Tarsita, 1990), hlm.
139.
[4]Burhan Bungin, Metodologi
Penelitian Kualitatif, Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer,
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 232.
[5]Pratama Rahardja dan Mandala Manurung, Teori Ekonomi Makro, (Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, 2005), hlm. 113.
[6]Subagyo. dkk, Bank dan
Lembaga Keuangan Lainnya, (Yogyakarta: STIE, 2002), hlm. 4.
[7]Meity
Taqdir Qodratillah, Kamus Bahasa
Indonesia untuk pelajar, (Jakarta:
BPPB Kemendikbud RI, 2011), hlm. 585.
[8]Abdullah bin Sulaiman al-Mani', Buhuts fi al-Iqtishad al-Islami,
(Mekah: al-Maktab al-Islami, 1996), hlm. 178.
[9]Muhammad Rawas Qal'ah Ji, al-Mu'amalat al-Maliyah al-Mu'ashirah
fi Dhau' al-Fiqh wa al-Syari'ah, (Beirut: Dar al-Nafa'is, 1999), hlm. 23.
[10]Adiwarman A. Karim, Ekonomi Makro Islam,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 79.
[11]Mustafa Edwin Nasution. dkk, Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam, (Jakarta:
Wacana Prenda Media Group, 2006), hlm. 250.
[12]Kasmir, Bank
dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002),
hlm. 173-174.
[13]Dinar adalah koin emas 22 karat seberat 4,25
gram. Dirham, koin perak 2,9 gram. Spesifikasi ini merujuk standar yang
ditetapkan Khalifah Umar ibn al-Khattab. Selama 14 abad.
[14]Robert Gilpin and Jean M. Gilpin. The Political
Economy of International Relations, (New Jersey: Princeton University Press, 1987), pp. 131-132.
[15]Richard Peet. Unholy Trinity The IMF, World
Bank, and WTO. (New York: Zed Books, 2003), pp. 57-58. Floating exchange rate adalah sistem kurs mengambang yang ditetapkan melalui mekanisme
kekuatan permintaan dan penawaran pada bursa valas.
[17]Umar Ibrahim Vadillo, End
of Economics: Islamic Critique of Economics (Madinah Prees, 1991), pp. -
[18]Ahamed Kameel Mydin Meera Moussa Larbani, Seigniorage Of Fiat
Money And The Maqasid Al-Shari’ah, (Humanomics, Vol. 22 Iss 2, 2006), pp.
84 – 97.
[19]Seigniorage Adalah keuntungan yang diperoleh dalam memproduksi uang (Bank Sentral) akibat
perbedaan antara nilai nominal (face-value) suatu mata uang dengan biaya
memproduksi uang tersebut (intrinsic value)
[21]Abdul Halim dan Syukriy Abdullah. Studi atas Belanja Modal Pada Anggaran
Pemerintah Daerah dalam Hubungannya dengan Belanja Pemeliharaan
dan Sumber Pendapatan.(Jurnal Akuntansi Pemerintah, ISSN:
0216-8642, Vol. 2, No. 2, 2006), hlm. 17 -32.
[22]Joseph E.
Stiglitz, Dekade Keserakahan Era 90-an dan Awal Mula Petaka Ekonomi Dunia,
Penerjemah Aan Suheni, (Tanggerang: Marjin Kiri,2006), hlm. 199.
[23]Joseph E Stiglitz, Globalization and Its Discontents, (New York: W.W.
Norton & Company, 2003), pp. 199.
[24]Glyn Davies, a history of money: from
ancient times to the present day (Cardiff: University of wales press,
2002), pp. 60.
[25]Zaim Saidi, Tidak Syar‟inya Bank Syariah di Indonesia dan Jalan
Keluarnya Menuju Muamalat, (Yogyakarta: Delokomotif, 2010), hlm. 224-226.
[26]Umar Vadillo, Bank
Tetap Haram: Kritik terhadap kapitalisme, Sosialisme dan Perbankan
Syariah , Tejm. Cet.2,(Jakarta: Pustaka Zaman, 2005), hlm. 70.
[27]Zaim Saidi, Ilusi Demokrasi: Kritik dan
Otokritik Islam: Menyongsong Kembalinya Tata Kehidupan Islam Menurut Amal
Madinah. (Jakarta: Republika, 2007), hlm. 27.