Selasa, 05 Januari 2016

Sekar Marijan Kartoswiryo dan Negara Islam Indonesia


S.M. KARTOSUWIRYO
DAN DARUL ISLAM INDONESIA (DII)




oleh;
MASRIL


TAHUN 2015


A.       Latar Belakang Masalah
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dalam sejarah politik nasional Indonesia, namanya dikaitkan dengan hal-hal yang kurang baik mengenai negara ini. Bahkan ia diidentikkan dengan gambar buram yang ada kalanya bernuansa aneh. Buku-buku sejarah nasional memosisikan Kartosuwiryo sebagai orang yang “bermimpi’ mendirikan negara baru. pandangan ini berlangsung hingga sekarang. 
Gambaran buram soal Kartosuwiryo ini, muncul dari situasi yang ditanamkan oleh pemerintahan Soekarno. Sebab utamanya karena Soekarno yang menjunjung paham Nasionalis merasa terancam kedudukannya. Maka dia mencari dukungan dengan memperalat umat Islam untuk menghadapi saudaranya sesama muslim dalam Negara Islam Indonesia (NII). Konspirasi Soekarno dengan ulama NU sehingga ia menerima julukan “waliyyul amri ad-dharuri bisy-syaukah”, juga merupakan rekayasa Soekarno untuk meredam kecenderungan masyarakat kepada konsep negara Kartosuwiryo[1]
Negara Islam Indonesia (NII) sangatlah erat hubunganya dengan pemikiran kartoswiryo, teguhanya pendiriannya dalam melakukan suatu dasar negara yang dianggapnya terbaik untuk di terapkan di Inonesia bukan pancasila.
Tapi tidaklah semudah membalikkan telapak tangan untuk mewujudkan itu semua. Tentunya mendapat rintangan dan tantangan yang maha besar, bukan hanya tantangan dari negara tapi juga dari kawan seperguruannya sendiri yang memposisikan dirinya sebagai penentang ide NII yaitu Soekarno dan Muso.
Seokarno lebih mengedepankan Nasionalisme untuk di terapkan di Indonesia karena menurutnya paham ini yang tepat untuk Indonesia. Bukan hanya Soekarno  tapi Muso pun berhaluan berbeda dengan dia, Muso lebih mengginkan Indonesia dibangun berdasarkan Paham Sosialis-Komunis padahal mereka pernah berguru kepada H.O.S. Cokroaminoto.
Kartoswirjo, bagi sebagian orang bukanlah seorang pembangkang negara bahkan pemberontak tapi, tidak ubahnya seperti pahlawan yang dengan gagah berani mengorbankan harta, jiwa bankan nyawanya sendiri diserahkan demi terwujudnya Negara Islam Indonesia (NII).
Berkaitan dengan hal tersebut, diperlukan kajian mendalam mengenai Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dan Negara Islam Indonesia (NII)”. Hal ini disebabkan karena beliau adalah sang proklamornya.
B.        Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis mengambil masalah yang akan dibahas dalam makalah  ini adalah:
1.      Siapakah Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo?
2.      Bagaimana Pemikiran Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo Mengenai Negara Islam Indonesia?
3.      Bagaimana Pengaruh Pemikiran Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo Terhadap Pergerakan Islam di Indonesia?

C.       Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1.   Untuk mengetahui Siapa Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo?
2.   Untuk mengetahui Bagaimana Pemikiran Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo Mengenai Negara Islam Indonesia?
3.   Untuk mengetahui Bagaimana Pengaruh Pemikiran Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo Terhadap Pergerakan Islam Di Indonesia?

D.       Manfaat Penelitian
Dengan melakukan penelitian ini maka diharapkan dapat dipetik manfaat sebagai berikut:
1.      Pembaca dapat mengetahui Siapa Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.
2.      Pembaca dapat mengetahui Bagaimana Pemikiran Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo Mengenai Negara Islam Indonesia
3.      Pembaca dapat mengetahui Bagaimana Pengaruh Pemikiran Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo Terhadap Pergerakan Islam di Indonesia.

BAB II
METODE PENELITIAN
A.    Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif artinya penelitian dilakukan secara mendalam serta menggunakan pendekatan deskriptif yang bermaksud untuk mengetahui bagaimana Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dan Negara Islam Indonesia (NII)”. Deskriptif yang dimaksud disini adalah dengan menuturkan dan menggambarkan data yang diperoleh secara apa adanya sesuai dengan permasalahan yang diteliti barulah kemudian peneliti menarik kesimpulan.

B.     Lokasi  Penelitian
Penelitian ini dilakukan di beberapa perpustakaan dan internet,  sebagai berikut:
1.      Pustaka induk wilayah Provinsi Aceh
2.      Pustaka induk Kampus Universitas Islam Negeri Ar-Raniry
3.      Pustaka induk Kampus Universitas Syiah Kuala
4.      Pustaka Pascasarjana UIN Ar-raniry
C.    Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data penelitian ini menggunakan  yaitu :
1.      Data Sekunder
Data ini diperoleh dari studi kepustakaan. Studi kepustakaan dimaksud untuk memperoleh teori, konsep maupun keterangan-keterangan melalui hasil penelitian, buku-buku, skripsi, majalah, atau bahan-bahan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Hasil penelitian tersebut yang kemudian  dianalisis secara deskriptif.
2.      Teknik Analisis Data
Sesuai dengan penelitian ini, maka data yang ada dianalisis dengan teknik kualitatif deskriptif, artinya data-data yang ada dianalisis di pustakaan dikumpulkan kemudian diolah dengan klasifikasi dan dianalisis secara kualitatif dengan berpedoman pada kerangka pikiran yang telah disajikan guna memberikan gambaran yang jelas dari masalah yang diteliti.


BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Sesuai dengan latar belakang masalah yang telah di kemukakan di atas maka penulis akan melakukan studi analisis kepustakaan untuk mendapatkan jawaban yang tepat dari makalah ini yang berjudul Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dan Negara Islam Indonesia (NII)”.
A.       Biografi Singkat Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (S.M. Kartosoewirjo) lahir pada 7 Januari 1905 persis berada di daerah perbatasan Jawa Timur dengan Jawa Tengah di sebuah kota kecil antara Blora dan Bojonegoro yang dinamai desa Cepu, Jawa Tengah. dimana di desa ini terjadinya percampuran dua budaya yaitu Jawa bagian timur dan bagian tengah bertemu dalam satu garis budaya yang melahirkan pribadi yang kaut dan tangguh dikemudian hari. [2]
Terlahir dari seorang ayah yang bekerja sebagai mantri pada kantor yang mengkoordinasikan para penjual candu di kota kecil Pamotan, dekat Rembang.
Mantri candu sederajat dengan jabatan Sekretaris Distrik. Dalam posisi inilah, ayah Kartosoewiryo, mempunyai kedudukan yang cukup penting sebagai seorang pribumi saat itu, menimbulkan pengaruh yang sangat besar terhadap pembentukan garis sejarah anaknya. Kartosuwiryo, pun kemudian mengikuti tali pengaruh ini hingga pada usia remajanya.
Pada umur 8 tahun, Kartosoewirjo masuk ke sekolah Inlandsche School der Tweede Klasse (ISTK) sekolah setingkat dengan sekolah dasar sekarang. Sekolah ini menjadi sekolah nomor dua bagi kalangan bumiputera di pamotan. Empat tahun kemudian, ia melanjutkan sekolah ke Hollandsch-Inlandsche School (HIS) di Rembang. Tahun 1919 ketika orang tuanya pindah ke Bojonegoro,  Kartosoewirjo kecil pun kemudian dipindahkan ke sekolah ELS (Europeesche Lagere School) sekolah untuk orang Eropa. Bagi seorang putra “pribumi”, HIS dan ELS merupakan sekolah elite. dengan kecerdasan dan bakat yang khusus yang dimiliki Kartosoewirjo maka dia bisa masuk sekolah yang direncanakan sebagai lembaga pendidikan untuk orang Eropa dan kalangan masyarakat Indo-Eropa. Orang Indonesia yang berhasil masuk ELS adalah orang yang memiliki kecerdasan yang tinggi. Di Bojonegoro, Kartosoewirjo mengenal guru rohaninya yang pertama bernama Notodiharjo[3], seorang tokoh Islam modern, sebagai penganut pemikiran islam modern ia lantas menanamkan pemikiran Islam modern tersebut ke dalam alam pikiran Kartosoewirjo. Pemikiran Notodiharjo ini sangat mempengaruhi sikap Kartosoewirjo dalam merespon ajaran-ajaran Islam untuk masa yang akan datang.
Tahun 1923 Kartosoewirjo telah lulus dari sekolah di ELS, Kemudian ia pergi ke Surabaya melanjutkan studinya pada Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS), Sekolah Kedokteran Belanda untuk Pribumi. Pada masa menjalani kuliah tepatnya pada tahun l926 di Surabaya, ia mulai terlibat dengan banyak aktivitas organisasi pergerakan nasionalisme Indonesia yang sudah muncul pada saat itu.
Sewaktu kuliah di Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS) ia mengenal kemudian bergabung dengan organisasi Syarikat Islam (SI) yang dipimpin oleh H. O. S. Tjokroaminoto. Ia sempat tinggal di rumah Tjokroaminoto. Ia menjadi murid sekaligus sekretaris pribadi H. O. S. Tjokroaminoto. Seperti dituliskan oleh banyak para peneliti mengenai Kartosoewirjo bahwa nantinya Tjokroaminoto juga  sangat mempengaruhi perkembangan pemikiran dan aksi politik Kartosoewirjo.
Tahun 1927, Kartosoewirjo dikeluarkan dari Nederlands Indische Artsen School  (NIAS) karena ia dianggap menjadi aktivis politik serta memiliki buku sosialis dan komunis.
S. M. Kartosoewirjo pernah bekerja sebagai Pemimpin Redaksi di Koran harian Fadjar Asia dan aktif di Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) atau PSIHT (Partij Sjarikat Islam Hindia Timur), Kariernya kemudian melejit saat ia menjadi sekretaris jenderal Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Di PSII ini ia menemukan jodohnya. Ia menikah dengan Dwi siti Kalsum (Umi Kalsum), anak seorang tokoh PSII (Ajengan Ardiwisastera) di Malangbong dan di karunia dua belas anak. Ia kemudian keluar dari PSII dan mendirikan Komite Pembela Kebenaran Partai Sarekat Islam Indonesia (KPKPSII).
Ketika wilayah Republik Indonesia hanya tinggal Yogyakarta sebagai akibat dari agresi militer Belanda dua dan beberapa karesidenan di Jawa Tengah sebagai hasil kesepakatan dalam Perjanjian Renville, Kartosoewirjo melihat peluang untuk mendirikan negara Islam yang dicita-citakannya. Maka Kartosoewirjo pun memprokamasikan Negara Islam Indonesia (NII) di Malangbong, Tasikmalaya, Jawa Barat, pada 7 Agustus 1949.
Ketika Kartosoewirjo memprokamasikan Negara Islam Indonesia (NII)[4], sejak itulah dia dianggap oleh Pemerintah indonesia (Soekarno) sebagai pemberontak yang ingin merubah ideologi indonesia dari pancasila ke ideologi islam yang berdasar pada al-Qur’an dan Hadist.
Akhirnya, perjuangan panjang Kartosuwiryo selama 13 tahun pupus setelah Kartosoewirjo tertangkap di wilayah Gunung Rakutak di Jawa Barat pada 4 Juni 1962. Mahkamah militer menyatakan Kartosoewirjo bersalah karena mendirikan Negara Islam Indonesia itu adalah sebuah “pemberontakan” kemudian dijatuhi hukuman mati. Mantan aktivis, jurnalis, sekaligus ulama kharismatik itupun menghembuskan napas terakhirnya di depan regu tembak NKRI pada 5 September 1962 (umur 57) di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu, Jakarta.

B.        Pemikiran S.M Kartoswirjo Mengenai Negara Indonesia.
Selama kuliahnya Kartosuwiryo mendalami pemikiran-pemikiran Islam. Ia mulai “mengaji” secara serius. Semua aktivitasnya fokus untuk mempelajari Islam semata dan berbuat untuk kemajuan Islam. Dia pun kemudian sering meninggalkan aktivitas kuliah dan menjadi tidak begitu peduli dengan ilmu-ilmu yang diajarkan oleh sekolah Belanda, tentunya setelah ia mengkaji dan membaca banyak buku-buku dari berbagai disiplin ilmu, dari kedokteran hingga ilmu-ilmu sosial dan politik.
Agresi militer Belanda kedua mengakibatkan terjadinya kekacauan di Indonesia. Apalagi,  dengan ditandatanganinya perjanjian Renville antara pemerintah Republik dengan Belanda. dimana pada perjanjian tersebut berisi antara lain gencatan senjata dan pengakuan garis demarkasi van Mook.
Sementara pemerintah RI harus mengakui kedaulatan Belanda atas Indonesia, maka menjadi pil pahit bagi Republik. Tempat-tempat penting yang strategis bagi pasukannya di daerah-daerah yang dikuasai pasukan Belanda harus dikosongkan, dan semua pasukan harus ditarik mundur ke Jawa Tengah.
Puncaknya Pada tahun 1949 Indonesia mengalami suatu perubahan politik besar-besaran. Pada saat Jawa Barat mengalami kekosongan kekuasaan, maka ketika itu terjadilah sebuah proklamasi Negara Islam di Nusantara (NII) pada 7 Agustus 1949 , sebuah negeri al-Jumhuriyah Indonesia yang kelak kemudian dikenal sebagai ad-Daulatul Islamiyah atau Darul Islam atau Negara Islam Indonesia yang lebih dikenal oleh masyarakat sebagai DI/TII selain itu, ini juga sebagai hasil akumulasi Kekecewaannya terhadap pemerintah pusat.
DI/TII di dalam sejarah Indonesia sering disebut para pengamat yang fobi dengan Negara Islam sebagai “Islam muncul dalam wajah yang tegang.” Bahkan, peristiwa ini dimanipulasi sebagai sebuah “pemberontakan”.
Kalaupun peristiwa ini disebut sebagai sebuah “pemberontakan”, maka ia bukanlah sebuah pemberontakan biasa. Ia merupakan sebuah perjuangan suci anti-kezhaliman yang terbesar di dunia di awal abad ke-20 ini. “Pemberontakan” bersenjata yang sempat menguras habis logistik angkatan perang Republik Indonesia ini bukanlah pemberontakan kecil, bukan pula pemberontakan yang bersifat regional, bukan “pemberontakan” yang muncul karena sakit hati atau kekecewaan politik lainnya, melainkan karena sebuah “cita-cita”, sebuah “mimpi” yang diilhami oleh ajaran-ajaran Islam yang lurus.
Pada masa Amir Sjarifuddin sebagai perdana mentri kartoswirjo dibujuk untuk terlibat dalam pemerintahan indonesia tapi dengan tegas ia menolak: Wis to Mas, miliho menteri opo wae asal ojo Menteri Pertahanan utowo Menteri Dalam Negeri (Sudahlah Mas, pilih jadi menteri apa saja, tapi jangan Menteri Pertahanan atau Menteri Dalam Negeri). Kartosoewirjo menjawab: Emoh, nek dasar negoro ora Islam (Tidak mau, kalau dasar negara bukan Islam).
Negara Islam Indonesia (NII) secara langsung adalah hasil pemikiran Kartosuwiryo yang ingin diberlakukan di Indonesia mengantikan ideologi pancasila yang mana NII berlandaskan islam dengan berdasar pada al-Qur’an dan hadist, ini tercermin dari isi proklamasi berdirinya negara NII yang dibacakan oleh S.M Kartoswirjo.


C.       Pengaruh Pemikiran S.M Kartoswirjo Terhadap Pergerakan Islam di Indonesia
1.      Jawa Tengah
Amir Fatah merupakan tokoh yang membidani lahirnya DI/TII Jawa Tengah. Semula ia bersikap setia pada RI, namun kemudian sikapnya berubah dengan mendukung Gerakan DI/TII. Perubahan sikap tersebut disebabkan oleh beberapa alasan. Pertama, terdapat persamaan ideologi antara Amir Fatah dengan S.M. Kartosuwirjo, yaitu keduanya menjadi pendukung setia Ideologi Islam. Kedua, Amir Fatah dan para pendukungnya menganggap bahwa aparatur Pemerintah RI dan TNI yang bertugas di daerah Tegal-Brebes telah terpengaruh oleh "orang-orang Kiri", dan mengganggu perjuangan umat Islam. Ketiga, adanya pengaruh "orang-orang Kiri" tersebut, Pemerintah RI dan TNI tidak menghargai perjuangan Amir Fatah dan para pendukungnya selama itu di daerah Tegal-Brebes. Bahkan kekuasaan yang telah dibinanya sebelum Agresi Militer II, harus diserahkan kepda TNI di bawah Wongsoatmojo. Keempat, adanya perintah penangkapan dirinya oleh Mayor Wongsoatmojo. Hingga kini Amir Fatah dinilai sebagai pembelot baik oleh negara RI maupun umat muslim Indonesia.

2.      Sulawesi Selatan
Pemerintah berencana membubarkan Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) dan anggotanya disalurkan ke masyarakat. Tenyata Kahar Muzakkar menuntut agar Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan dan kesatuan gerilya lainnya dimasukkan dalam satu brigade yang disebut Brigade Hasanuddin di bawah pimpinanya. Tuntutan itu ditolak karena banyak di antara mereka yang tidak memenuhi syarat untuk dinas militer. Pemerintah mengambil kebijaksanaan menyalurkan bekas gerilyawan itu ke Corps Tjadangan Nasional (CTN). Pada saat dilantik sebagai Pejabat Wakil Panglima Tentara dan Tetorium VII, Kahar Muzakkar beserta para pengikutnya melarikan diri ke hutan dengan membawa persenjataan lengkap dan mengadakan pengacauan. Kahar Muzakkar mengubah nama pasukannya menjadi Tentara Islam Indonesia dan menyatakan sebagai bagian dari DI/TII Kartosuwiryo pada tanggal 7 Agustus 1953. Tanggal 3 Februari 1965, Kahar Muzakkar tertembak mati oleh pasukan ABRI (TNI-POLRI) dalam sebuah baku tembak.

3.      Kalimantan Selatan
Bulan Oktober 1950 DI/ TII juga tercatat melakukan pemberontakan di Kalimantan Selatan yang dipimpin oleh Ibnu Hadjar. Para pemberontak melakukan pengacauan dengan menyerang pos-pos kesatuan ABRI (TNI-POLRI). Dalam menghadapi gerombolan DI/TII tersebut pemerintah pada mulanya melakukan pendekatan kepada Ibnu Hadjar dengan diberi kesempatan untuk menyerah, dan akan diterima menjadi anggota ABRI. Ibnu Hadjar sempat menyerah, akan tetapi setelah menyerah dia kembali melarikan diri dan melakukan pemberontakan lagi sehingga pemerintah akhirnya menugaskan pasukan ABRI (TNI-POLRI) untuk menangkap Ibnu Hadjar. Pada akhir tahun 1959 Ibnu Hadjar beserta seluruh anggota gerombolannya tertangkap dan dihukum mati.

4.      Aceh
Pemberontakan DI/TII di Aceh dimulai dengan "Proklamasi" Daud Beureueh bahwa Aceh merupakan bagian "Negara Islam Indonesia"[5] di bawah pimpinan Imam Kartosuwirjo pada tanggal 20 September 1953.
Daued Beureueh pernah memegang jabatan sebagai "Gubernur Militer Daerah Istimewa Aceh" sewaktu agresi militer pertama Belanda pada pertengahan tahun 1947. Sebagai Gubernur Militer ia berkuasa penuh atas pertahanan daerah Aceh dan menguasai seluruh aparat pemerintahan baik sipil maupun militer. Sebagai seorang tokoh ulama dan bekas Gubernur Militer, Daud Beureuh tidak sulit memperoleh pengikut. Daud Beureuh juga berhasil memengaruhi pejabat-pejabat Pemerintah Aceh, khususnya di daerah Pidie. Untuk beberapa waktu lamanya Daud Beureuh dan pengikut-pengikutnya dapat mengusai sebagian besar daerah Aceh termasuk sejumlah kota.
Penyelesaian masalah ini diawali dengan datangnya bantuan dari Sumatera Utara dan Sumatera Tengah, operasi pemulihan keamanan ABRI ( TNI-POLRI ) segera dimulai. Setelah didesak dari kota-kota besar, Daud Beureuh meneruskan perlawanannya di hutan-hutan. Akhir dari Pemberontakan Daud Beureuh ini yaitu ketika dilakukannya suatu " Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh" pada bulan Desember 1962 atas prakarsa Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kolonel Jendral Makarawong.

5.      JII
Menurut pernyataan intelijen[6], JI merupakan konfederasi beberapa kelompok Islam. Sekitar tahun 1969, dua orang, Abu Bakar Bashir, dan Abdullah Sungkar, dianggap melakukan operasi untuk mengembangkan Darul Islam, sebuah kelompok konservatif Islam. Abdullah Sungkar sudah meninggal, sedangkan Abu Bakar Bashir sendiri membantah keterlibatannya dengan JI dan menyatakan tidak tahu menahu tentang JI. Meskipun JI dituduh melakukan pemboman di hotel JW Mariot, Jakarta, keterkaitan Abu Bakar Bashir dengan aksi itu dinyatakan tidak terbukti oleh pengadilan.
Bashir dan kawan-kawannya mendirikan radio untuk menyampaikan pengajian di Indonesia. Bashir juga mendirikan pesantren di Jawa. Motto dari pesantren itu adalah, "Hidup mulia atau mati mendapat surga."
Tanpa peradilan, Bashir dijebloskan ke penjara semasa pemerintahan Suharto karena dianggap membahayakan dan hidup di penjara selama beberapa tahun.
Selepas dari penjara, Bashir melarikan diri ke Malaysia pada tahun 1982. Dia menjadi guru mengaji di Malaysia dan mempunyai banyak pengikut di negeri itu. Saat inilah dia dianggap mendirikan Jemaah Islamiyah dan pengikutnya tersebar juga hingga ke Singapura dan Filipina.
Anggota JI membuat dan menyebarkan pamflet, tapi tidak melakukan aksi teror. Bashir menyerukan jihad tapi dia tidak mau melakukan aksi kekerasan. Menurut cerita intelijen, Bashir bertemu Riduan Isamuddin, atau Hambali pada awal tahun 1990an di sebuah sekolah yang didirikan oleh Bashir. Bashir menjadi pemimpin politik dari organisasi itu sedangkan Hambali menjadi pemimpin militer.


BAB IV
PENUTUP
A.       Kesimpulan
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (S.M. Kartosoewirjo) lahir pada 7 Januari 1905 persis berada di daerah perbatasan Jawa Timur dengan Jawa Tengah di sebuah kota kecil antara Blora dan Bojonegoro yang dinamai desa Cepu, Jawa Tengah. ayahnya bekerja sebagai mantri pada kantor yang mengkoordinasikan para penjual candu di kota kecil Pamotan, dekat Rembang.
Kartosoewirjo masuk ke sekolah Inlandsche School der Tweede Klasse (ISTK) Pada umur 8 tahun, Empat tahun kemudian, ia melanjutkan sekolah ke Hollandsch-Inlandsche School (HIS) di Rembang. Tahun 1919 kemudian pindahkan ke sekolah ELS (Europeesche Lagere School).
Tahun 1923 Kartosoewirjo telah lulus dari sekolah di ELS, Kemudian ia pergi ke Surabaya melanjutkan studinya pada Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS) sekolah kedokteran untuk pribumi. Kemudian dikeluarkan pada tahun 1927. Selama kuliah di NIAS dia bergabung dengan Syarikat Islam (SI) yang dipimpin oleh H. O. S. Tjokroaminoto.
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (S.M. Kartosoewirjo) dalam pemikirannya bahwa Indonesia ini lebih baik menjadi negara islam yang berlandaskan kepada al-Qur’an dan Hadist dalam arti berideologikan islam bukan berdasar pada pancasila dengan menegdepankan  nasionalisme.
Secara langsung maupun tidak langsung pemikiran Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (S.M. Kartosoewirjo) mengenai berdirinya NII dapat mempengaruhi beberapa tokoh besar lainya yang ada diberbagai daerah misalkan Aceh, Jawa tengah, Sulawesi, Kalimantan bahkan pada masa reformasi pecah pada tahun 1998-an banyak muncul kelompok-kelompok yang sering dikaitkan dengan “kebangkitan negara NII” walaupun cita-cita S.M. Kartosoewirjo ini mulia bagi sebagaian besar penduduk di republik ini karena mayoritasnya adalah beragama islam tapi sampai detik ini NII itu tidak terwujud.
B.     Saran-Saran
Dengan adanya kajian kecil dari makalah mengenai sosok proklamator NII ini harapannya kedepan para pembaca mengkaji lebih dalam lagi mengenai sosok S.M. Kartosoewirjo yang sebenarnya karena setiap masyarakat yang ingin maju sekiaranya haruslah menghargai dan memahami sejarah dari tokoh yang pernah hidup di negaranya masa dahulu sehingga dapat di petik manfaat yang ada.
S.M. Kartosoewirjo dengan pemikiran NIInya yang tidak terwujud karena beda pemahaman dengan tokoh-tokoh pendiri republik ini namun dia tatap konsisten menperjuangkannya walaupun dia meningal didepan para regu penembak. 
Beberapa daerah di Indonesia yang juga berkeinginan mendirikan NII adalah salah biasa dari pemikiran S.M. Kartosoewirjo mengenai konsep negara ini, alangkah baiknya kita generasi sekarang mengkaji lebih dalam agar kita bisa menarik kesimpulan yang tepat sehingga tidak ada saling salah menyalahkan mengenai perjuangan yang telah dituliskan oleh para pemikir-pemikir indonesai pada masa memperjuangkan kemerdekaan.
  

DAFTAR PUSTAKA
  
Awwas, Irfan S,  Menelusuri Perjalanan Jihad S.M. Kartosuwiryo, Yogyakarta: Wihdah Press, 1999.
             
Chaidar, Al. Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S. M. Kartosoewirjo. Jakarta: Darul Falah, 1999.  

Dengel, Holk H., Darul Islam dan S. M. Kartosoewirjo. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995.  

Horikoshi, Hiroko, “The Darul Islam Movement in West Java : An Experience in Historical Process”, Indonesia, Nr.20, 1975.

Jackson, Karl D., Kewibawaan Tradisional, Islam dan Pemberontakan: Kasus Darul Islam Jawa Barat, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989.

Kansil, C.S.T. dan Julianto S.A., Sejarah Perjuangan Pergerakan Kebangsaan Indonesia, Jakarta: Erlangga, 1982.

Kuntowidjojo, Dinamika Sejarah Perjuangan Umat Islam Indonesia, Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1985.

Van Dijk, C. Darul Islam: Sebuah Pemberontakan (terj.), Jakarta: Pustaka Grafiti Utama, 1989.


Simatupang, T.B. dan Lapian, “Pemberontakan di Indonesia: Mengapa dan Untuk Apa”, Prisma, 1978.

Wikipedia.org “Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo” diakses pada: 12 Oktober 2015, https://id.wikipedia.org/wiki/Sekarmadji_Maridjan_Kartosoewirjo

Peneliti asing yang kkonsentrasi meneliti masalah DII/TII di Indonesia
1.      Cees van Dijk
2.      K.D. Jackson
3.      Holk H. Dengel




[1] Irfan S  Awwas, Menelusuri Perjalanan Jihad S.M. Kartosuwiryo, (Yogyakarta: Wihdah Press, 1999), hal…

[2] Majalah , PANJI MASYARAKAT, 29 September 1999, hal. 88.
                [3] Holk H. Dengel, Darul Islam dan S. M. Kartosoewirjo. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), hal…  

[4] A. Adaby Darban, mengungkap biografi Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo, Jurnal Humaniora Volume XIX, No. 2/2007
[5]Anthony Reid,  Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatra. (Terj) (Jakarta:  Sinar Harapan, 1986) hal. 151-152
[6] Solahudin, NII sampai JI: Salafi Jihadisme di Indonesia, (Jakrta: Komunitas bambu, 2011) hal..