Rabu, 06 Januari 2016
Selasa, 05 Januari 2016
Sekar Marijan Kartoswiryo dan Negara Islam Indonesia
S.M. KARTOSUWIRYO
DAN DARUL ISLAM INDONESIA (DII)
oleh;
MASRIL
TAHUN 2015
A.
Latar Belakang Masalah
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dalam sejarah politik
nasional Indonesia, namanya dikaitkan dengan hal-hal yang kurang baik mengenai
negara ini. Bahkan ia diidentikkan dengan gambar buram yang ada kalanya
bernuansa aneh. Buku-buku sejarah nasional memosisikan Kartosuwiryo sebagai
orang yang “bermimpi’ mendirikan negara baru. pandangan ini berlangsung hingga
sekarang.
Gambaran buram soal
Kartosuwiryo ini, muncul dari situasi yang ditanamkan oleh pemerintahan
Soekarno. Sebab utamanya karena Soekarno yang menjunjung paham Nasionalis
merasa terancam kedudukannya. Maka dia mencari dukungan dengan memperalat umat
Islam untuk menghadapi saudaranya sesama muslim dalam Negara Islam Indonesia
(NII). Konspirasi Soekarno dengan ulama NU sehingga ia menerima julukan
“waliyyul amri ad-dharuri bisy-syaukah”, juga merupakan rekayasa Soekarno untuk
meredam kecenderungan masyarakat kepada konsep negara Kartosuwiryo[1].
Negara Islam Indonesia
(NII) sangatlah erat hubunganya dengan pemikiran kartoswiryo, teguhanya
pendiriannya dalam melakukan suatu dasar negara yang dianggapnya terbaik untuk
di terapkan di Inonesia bukan pancasila.
Tapi tidaklah semudah
membalikkan telapak tangan untuk mewujudkan itu semua. Tentunya mendapat
rintangan dan tantangan yang maha besar, bukan hanya tantangan dari negara tapi
juga dari kawan seperguruannya sendiri yang memposisikan dirinya sebagai
penentang ide NII yaitu Soekarno dan Muso.
Seokarno lebih
mengedepankan Nasionalisme untuk di terapkan di Indonesia karena menurutnya
paham ini yang tepat untuk Indonesia. Bukan hanya Soekarno tapi Muso pun berhaluan berbeda dengan dia,
Muso lebih mengginkan Indonesia dibangun berdasarkan Paham Sosialis-Komunis
padahal mereka pernah berguru kepada H.O.S. Cokroaminoto.
Kartoswirjo, bagi
sebagian orang bukanlah seorang pembangkang negara bahkan pemberontak tapi,
tidak ubahnya seperti pahlawan yang dengan gagah berani mengorbankan harta,
jiwa bankan nyawanya sendiri diserahkan demi terwujudnya Negara Islam Indonesia
(NII).
Berkaitan dengan hal tersebut,
diperlukan kajian mendalam mengenai “Sekarmadji
Maridjan Kartosoewirjo dan Negara Islam Indonesia (NII)”. Hal ini disebabkan karena beliau
adalah sang proklamornya.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis mengambil masalah
yang akan dibahas dalam makalah ini
adalah:
1. Siapakah Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo?
2. Bagaimana Pemikiran Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo Mengenai Negara Islam
Indonesia?
3. Bagaimana Pengaruh Pemikiran Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo Terhadap Pergerakan Islam di Indonesia?
C.
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1.
Untuk mengetahui Siapa Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo?
2.
Untuk mengetahui Bagaimana Pemikiran Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo Mengenai Negara Islam
Indonesia?
3.
Untuk mengetahui Bagaimana Pengaruh Pemikiran Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo Terhadap Pergerakan Islam Di
Indonesia?
D.
Manfaat Penelitian
Dengan melakukan penelitian ini maka diharapkan dapat
dipetik manfaat sebagai berikut:
1. Pembaca dapat mengetahui Siapa Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.
2. Pembaca dapat mengetahui Bagaimana Pemikiran Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo Mengenai Negara Islam
Indonesia
3. Pembaca dapat mengetahui Bagaimana
Pengaruh Pemikiran Sekarmadji
Maridjan Kartosoewirjo Terhadap
Pergerakan Islam di Indonesia.
BAB II
METODE PENELITIAN
A.
Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif artinya
penelitian dilakukan secara mendalam serta menggunakan pendekatan deskriptif
yang bermaksud untuk mengetahui bagaimana “Sekarmadji
Maridjan Kartosoewirjo dan
Negara Islam Indonesia (NII)”. Deskriptif
yang dimaksud disini adalah dengan menuturkan dan menggambarkan data yang
diperoleh secara apa adanya sesuai dengan permasalahan yang diteliti barulah
kemudian
peneliti menarik kesimpulan.
B.
Lokasi Penelitian
Penelitian
ini dilakukan di beberapa
perpustakaan dan internet, sebagai berikut:
1. Pustaka induk
wilayah Provinsi Aceh
2. Pustaka induk Kampus
Universitas Islam Negeri Ar-Raniry
3. Pustaka induk Kampus
Universitas Syiah Kuala
4. Pustaka Pascasarjana
UIN Ar-raniry
C.
Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan
data penelitian ini menggunakan yaitu :
1.
Data
Sekunder
Data ini diperoleh dari studi
kepustakaan. Studi kepustakaan dimaksud untuk memperoleh teori, konsep maupun
keterangan-keterangan melalui hasil penelitian, buku-buku, skripsi, majalah,
atau bahan-bahan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Hasil penelitian tersebut yang kemudian dianalisis secara deskriptif.
2. Teknik Analisis Data
Sesuai dengan penelitian ini, maka data yang ada dianalisis dengan
teknik kualitatif deskriptif, artinya data-data yang ada dianalisis di pustakaan dikumpulkan kemudian diolah dengan klasifikasi
dan dianalisis secara kualitatif dengan berpedoman pada kerangka pikiran yang
telah disajikan guna memberikan gambaran yang jelas dari masalah yang diteliti.
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Sesuai
dengan latar belakang masalah yang telah di kemukakan di atas maka penulis akan
melakukan studi analisis kepustakaan untuk mendapatkan jawaban yang tepat dari
makalah ini yang berjudul “Sekarmadji
Maridjan Kartosoewirjo dan
Negara Islam Indonesia (NII)”.
A.
Biografi Singkat Sekarmadji
Maridjan Kartosoewirjo
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (S.M.
Kartosoewirjo) lahir
pada 7 Januari 1905 persis berada di daerah perbatasan Jawa Timur dengan Jawa
Tengah di sebuah kota kecil antara Blora dan Bojonegoro yang dinamai desa Cepu, Jawa Tengah. dimana di desa ini
terjadinya percampuran dua budaya yaitu Jawa bagian timur dan bagian tengah
bertemu dalam satu garis budaya yang melahirkan pribadi yang kaut dan tangguh
dikemudian hari. [2]
Terlahir
dari seorang ayah yang bekerja sebagai mantri pada kantor yang
mengkoordinasikan para penjual candu di kota kecil Pamotan, dekat Rembang.
Mantri
candu sederajat dengan jabatan Sekretaris Distrik. Dalam posisi inilah, ayah
Kartosoewiryo, mempunyai kedudukan yang cukup penting sebagai seorang pribumi
saat itu, menimbulkan pengaruh yang sangat besar terhadap pembentukan garis
sejarah anaknya. Kartosuwiryo, pun kemudian mengikuti tali pengaruh ini hingga
pada usia remajanya.
Pada umur 8 tahun, Kartosoewirjo masuk ke
sekolah Inlandsche School der Tweede Klasse (ISTK) sekolah setingkat
dengan sekolah dasar sekarang. Sekolah ini menjadi sekolah nomor dua bagi
kalangan bumiputera di pamotan. Empat tahun kemudian, ia
melanjutkan sekolah ke Hollandsch-Inlandsche School (HIS) di Rembang. Tahun
1919 ketika orang tuanya pindah ke Bojonegoro,
Kartosoewirjo kecil pun kemudian dipindahkan ke sekolah ELS (Europeesche
Lagere School) sekolah untuk
orang Eropa. Bagi seorang putra “pribumi”, HIS dan ELS merupakan sekolah
elite. dengan kecerdasan dan bakat yang khusus yang dimiliki Kartosoewirjo maka
dia bisa masuk sekolah yang direncanakan sebagai lembaga pendidikan untuk orang
Eropa dan kalangan masyarakat Indo-Eropa. Orang Indonesia yang berhasil masuk ELS adalah orang yang
memiliki kecerdasan yang tinggi. Di Bojonegoro, Kartosoewirjo mengenal guru rohaninya yang pertama bernama
Notodiharjo[3], seorang tokoh Islam modern, sebagai
penganut pemikiran islam modern ia lantas menanamkan pemikiran Islam modern
tersebut ke dalam alam pikiran Kartosoewirjo. Pemikiran Notodiharjo ini
sangat mempengaruhi sikap Kartosoewirjo dalam merespon ajaran-ajaran Islam
untuk masa yang akan datang.
Tahun
1923 Kartosoewirjo telah lulus
dari sekolah di ELS, Kemudian ia pergi ke Surabaya melanjutkan studinya pada
Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS), Sekolah Kedokteran Belanda untuk Pribumi.
Pada masa menjalani kuliah tepatnya pada tahun l926 di Surabaya, ia mulai terlibat
dengan banyak aktivitas organisasi pergerakan nasionalisme Indonesia yang sudah
muncul pada saat itu.
Sewaktu
kuliah di Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS) ia mengenal kemudian
bergabung dengan organisasi Syarikat Islam (SI) yang dipimpin oleh H. O. S.
Tjokroaminoto. Ia sempat tinggal di rumah Tjokroaminoto. Ia menjadi murid
sekaligus sekretaris pribadi H. O. S. Tjokroaminoto. Seperti dituliskan oleh
banyak para peneliti mengenai Kartosoewirjo
bahwa nantinya Tjokroaminoto juga sangat
mempengaruhi perkembangan pemikiran dan aksi politik Kartosoewirjo.
Tahun
1927, Kartosoewirjo dikeluarkan dari Nederlands Indische Artsen School (NIAS) karena ia dianggap menjadi aktivis
politik serta memiliki buku sosialis dan komunis.
S. M. Kartosoewirjo pernah bekerja sebagai
Pemimpin Redaksi di Koran harian Fadjar Asia dan
aktif di Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) atau PSIHT (Partij Sjarikat Islam Hindia
Timur), Kariernya kemudian
melejit saat ia menjadi sekretaris jenderal Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Di PSII ini ia menemukan jodohnya. Ia
menikah dengan Dwi siti Kalsum
(Umi Kalsum), anak seorang tokoh PSII (Ajengan Ardiwisastera) di Malangbong dan di karunia dua belas anak. Ia kemudian keluar dari
PSII dan mendirikan Komite Pembela Kebenaran Partai Sarekat Islam
Indonesia (KPKPSII).
Ketika
wilayah Republik Indonesia hanya tinggal Yogyakarta sebagai akibat dari agresi
militer Belanda dua dan beberapa karesidenan di Jawa Tengah sebagai hasil
kesepakatan dalam Perjanjian Renville, Kartosoewirjo melihat peluang untuk
mendirikan negara Islam yang dicita-citakannya. Maka Kartosoewirjo pun
memprokamasikan Negara Islam Indonesia (NII) di Malangbong, Tasikmalaya, Jawa
Barat, pada 7 Agustus 1949.
Ketika
Kartosoewirjo memprokamasikan Negara Islam Indonesia (NII)[4], sejak
itulah dia dianggap oleh Pemerintah indonesia (Soekarno) sebagai pemberontak
yang ingin merubah ideologi indonesia dari pancasila ke ideologi islam yang
berdasar pada al-Qur’an dan Hadist.
Akhirnya,
perjuangan panjang Kartosuwiryo selama 13 tahun pupus setelah Kartosoewirjo
tertangkap di wilayah Gunung Rakutak di Jawa Barat pada 4 Juni 1962.
Mahkamah militer menyatakan Kartosoewirjo bersalah karena mendirikan Negara
Islam Indonesia itu adalah sebuah “pemberontakan” kemudian dijatuhi hukuman
mati. Mantan aktivis, jurnalis, sekaligus ulama kharismatik itupun
menghembuskan napas terakhirnya di depan regu tembak NKRI pada 5 September 1962 (umur 57) di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu, Jakarta.
B.
Pemikiran S.M Kartoswirjo Mengenai Negara Indonesia.
Selama
kuliahnya Kartosuwiryo mendalami pemikiran-pemikiran Islam. Ia mulai “mengaji”
secara serius. Semua aktivitasnya fokus untuk mempelajari Islam semata dan
berbuat untuk kemajuan Islam. Dia pun kemudian sering meninggalkan aktivitas
kuliah dan menjadi tidak begitu peduli dengan ilmu-ilmu yang diajarkan oleh
sekolah Belanda, tentunya setelah ia mengkaji dan membaca banyak buku-buku dari
berbagai disiplin ilmu, dari kedokteran hingga ilmu-ilmu sosial dan politik.
Agresi
militer Belanda kedua mengakibatkan terjadinya kekacauan di Indonesia. Apalagi,
dengan ditandatanganinya perjanjian
Renville antara pemerintah Republik dengan Belanda. dimana pada perjanjian
tersebut berisi antara lain gencatan senjata dan pengakuan garis demarkasi van
Mook.
Sementara
pemerintah RI harus mengakui kedaulatan Belanda atas Indonesia, maka menjadi
pil pahit bagi Republik. Tempat-tempat penting yang strategis bagi pasukannya
di daerah-daerah yang dikuasai pasukan Belanda harus dikosongkan, dan semua
pasukan harus ditarik mundur ke Jawa Tengah.
Puncaknya
Pada tahun 1949 Indonesia mengalami suatu perubahan politik besar-besaran. Pada
saat Jawa Barat mengalami kekosongan kekuasaan, maka ketika itu terjadilah
sebuah proklamasi Negara Islam di Nusantara (NII) pada 7 Agustus 1949 , sebuah negeri al-Jumhuriyah Indonesia yang kelak kemudian dikenal
sebagai ad-Daulatul Islamiyah atau Darul Islam atau Negara Islam Indonesia yang
lebih dikenal oleh masyarakat sebagai DI/TII selain itu, ini juga sebagai hasil
akumulasi Kekecewaannya terhadap pemerintah pusat.
DI/TII
di dalam sejarah Indonesia sering disebut para pengamat yang fobi dengan Negara
Islam sebagai “Islam muncul dalam wajah yang tegang.” Bahkan, peristiwa ini
dimanipulasi sebagai sebuah “pemberontakan”.
Kalaupun
peristiwa ini disebut sebagai sebuah “pemberontakan”, maka ia bukanlah sebuah
pemberontakan biasa. Ia merupakan sebuah perjuangan suci anti-kezhaliman yang
terbesar di dunia di awal abad ke-20 ini. “Pemberontakan” bersenjata yang
sempat menguras habis logistik angkatan perang Republik Indonesia ini bukanlah
pemberontakan kecil, bukan pula pemberontakan yang bersifat regional, bukan
“pemberontakan” yang muncul karena sakit hati atau kekecewaan politik lainnya,
melainkan karena sebuah “cita-cita”, sebuah “mimpi” yang diilhami oleh
ajaran-ajaran Islam yang lurus.
Pada masa Amir Sjarifuddin sebagai perdana mentri kartoswirjo dibujuk
untuk terlibat dalam pemerintahan indonesia tapi dengan tegas ia menolak: Wis
to Mas, miliho menteri opo wae asal ojo Menteri Pertahanan utowo Menteri Dalam
Negeri (Sudahlah Mas, pilih jadi menteri apa saja, tapi jangan Menteri
Pertahanan atau Menteri Dalam Negeri). Kartosoewirjo menjawab: Emoh, nek
dasar negoro ora Islam (Tidak mau, kalau dasar negara bukan Islam).
Negara Islam Indonesia (NII) secara
langsung adalah hasil pemikiran Kartosuwiryo yang ingin
diberlakukan di Indonesia mengantikan ideologi pancasila yang mana NII berlandaskan
islam dengan berdasar pada al-Qur’an dan hadist, ini tercermin dari isi
proklamasi berdirinya negara NII yang dibacakan oleh S.M Kartoswirjo.
C.
Pengaruh Pemikiran S.M Kartoswirjo
Terhadap Pergerakan Islam di Indonesia
Amir Fatah
merupakan tokoh yang membidani lahirnya DI/TII Jawa Tengah. Semula ia
bersikap setia pada RI, namun kemudian sikapnya berubah dengan mendukung
Gerakan DI/TII. Perubahan sikap tersebut disebabkan oleh beberapa alasan.
Pertama, terdapat persamaan ideologi antara Amir Fatah dengan S.M.
Kartosuwirjo, yaitu keduanya menjadi pendukung setia Ideologi Islam. Kedua,
Amir Fatah dan para pendukungnya menganggap bahwa aparatur Pemerintah RI dan
TNI yang bertugas di daerah Tegal-Brebes telah terpengaruh oleh
"orang-orang Kiri", dan mengganggu perjuangan umat Islam. Ketiga,
adanya pengaruh "orang-orang Kiri" tersebut, Pemerintah RI dan TNI
tidak menghargai perjuangan Amir Fatah dan para pendukungnya selama itu di
daerah Tegal-Brebes. Bahkan kekuasaan yang telah dibinanya sebelum Agresi
Militer II, harus diserahkan kepda TNI di bawah Wongsoatmojo. Keempat, adanya
perintah penangkapan dirinya oleh Mayor Wongsoatmojo. Hingga kini Amir Fatah dinilai sebagai
pembelot baik oleh negara RI maupun umat muslim Indonesia.
2. Sulawesi Selatan
Pemerintah
berencana membubarkan Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) dan anggotanya disalurkan ke
masyarakat. Tenyata Kahar Muzakkar menuntut agar Kesatuan Gerilya Sulawesi
Selatan dan kesatuan gerilya lainnya dimasukkan dalam satu brigade yang disebut
Brigade Hasanuddin di bawah pimpinanya. Tuntutan itu ditolak karena banyak di
antara mereka yang tidak memenuhi syarat untuk dinas militer. Pemerintah
mengambil kebijaksanaan menyalurkan bekas gerilyawan itu ke Corps Tjadangan Nasional (CTN). Pada saat dilantik sebagai Pejabat
Wakil Panglima Tentara dan Tetorium VII, Kahar Muzakkar beserta para
pengikutnya melarikan diri ke hutan dengan membawa persenjataan lengkap dan
mengadakan pengacauan. Kahar Muzakkar mengubah nama pasukannya menjadi Tentara
Islam Indonesia dan menyatakan sebagai bagian dari DI/TII Kartosuwiryo pada
tanggal 7 Agustus 1953.
Tanggal 3 Februari 1965,
Kahar Muzakkar tertembak mati oleh pasukan ABRI
(TNI-POLRI) dalam sebuah baku tembak.
Bulan
Oktober 1950 DI/ TII juga tercatat melakukan pemberontakan di Kalimantan
Selatan yang dipimpin oleh
Ibnu Hadjar. Para pemberontak melakukan pengacauan dengan menyerang
pos-pos kesatuan ABRI (TNI-POLRI). Dalam menghadapi gerombolan DI/TII tersebut
pemerintah pada mulanya melakukan pendekatan kepada Ibnu Hadjar dengan diberi
kesempatan untuk menyerah, dan akan diterima menjadi anggota ABRI. Ibnu Hadjar
sempat menyerah, akan tetapi setelah menyerah dia kembali melarikan diri dan
melakukan pemberontakan lagi sehingga pemerintah akhirnya menugaskan pasukan
ABRI (TNI-POLRI) untuk menangkap Ibnu Hadjar. Pada akhir tahun 1959 Ibnu Hadjar
beserta seluruh anggota gerombolannya tertangkap dan dihukum mati.
4. Aceh
Pemberontakan
DI/TII di Aceh
dimulai dengan "Proklamasi" Daud Beureueh bahwa Aceh merupakan bagian "Negara
Islam Indonesia"[5]
di bawah pimpinan Imam Kartosuwirjo pada tanggal 20 September 1953.
Daued Beureueh pernah memegang jabatan
sebagai "Gubernur Militer Daerah Istimewa Aceh" sewaktu agresi militer
pertama Belanda pada pertengahan tahun 1947. Sebagai Gubernur Militer ia
berkuasa penuh atas pertahanan daerah Aceh dan menguasai seluruh aparat
pemerintahan baik sipil maupun militer. Sebagai seorang tokoh ulama dan bekas
Gubernur Militer, Daud Beureuh tidak sulit memperoleh pengikut. Daud Beureuh
juga berhasil memengaruhi pejabat-pejabat Pemerintah Aceh, khususnya di daerah Pidie.
Untuk beberapa waktu lamanya Daud Beureuh dan pengikut-pengikutnya dapat
mengusai sebagian besar daerah Aceh termasuk sejumlah kota.
Penyelesaian masalah ini diawali dengan datangnya
bantuan dari Sumatera
Utara dan Sumatera Tengah, operasi pemulihan keamanan ABRI ( TNI-POLRI
) segera dimulai. Setelah didesak dari kota-kota besar, Daud Beureuh meneruskan
perlawanannya di hutan-hutan. Akhir dari Pemberontakan Daud Beureuh ini yaitu
ketika dilakukannya suatu " Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh" pada
bulan Desember 1962 atas prakarsa Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kolonel Jendral Makarawong.
5.
JII
Menurut pernyataan intelijen[6],
JI merupakan konfederasi beberapa kelompok Islam. Sekitar tahun 1969, dua orang, Abu Bakar Bashir,
dan Abdullah
Sungkar, dianggap melakukan operasi untuk mengembangkan Darul Islam, sebuah
kelompok konservatif Islam. Abdullah Sungkar
sudah meninggal, sedangkan Abu Bakar Bashir sendiri membantah keterlibatannya
dengan JI dan menyatakan tidak tahu menahu tentang JI. Meskipun JI dituduh
melakukan pemboman di hotel JW Mariot, Jakarta, keterkaitan Abu Bakar Bashir
dengan aksi itu dinyatakan tidak terbukti oleh pengadilan.
Bashir dan kawan-kawannya mendirikan
radio untuk menyampaikan pengajian di Indonesia. Bashir juga mendirikan pesantren di Jawa. Motto dari pesantren itu adalah,
"Hidup mulia atau mati mendapat surga."
Tanpa peradilan, Bashir dijebloskan ke penjara semasa
pemerintahan Suharto karena dianggap
membahayakan dan hidup di penjara selama beberapa tahun.
Selepas dari penjara, Bashir melarikan
diri ke Malaysia pada tahun 1982. Dia menjadi guru mengaji di Malaysia dan mempunyai
banyak pengikut di negeri itu. Saat inilah dia dianggap mendirikan Jemaah
Islamiyah dan pengikutnya tersebar juga hingga ke Singapura dan Filipina.
Anggota JI membuat dan menyebarkan
pamflet, tapi tidak melakukan aksi teror. Bashir menyerukan jihad tapi dia tidak mau melakukan aksi
kekerasan. Menurut cerita intelijen, Bashir bertemu Riduan Isamuddin, atau Hambali pada awal tahun
1990an di sebuah sekolah yang didirikan oleh Bashir. Bashir menjadi pemimpin
politik dari organisasi itu sedangkan Hambali menjadi pemimpin militer.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (S.M.
Kartosoewirjo) lahir
pada 7 Januari 1905 persis berada di daerah perbatasan Jawa Timur dengan Jawa
Tengah di sebuah kota kecil antara Blora dan Bojonegoro yang dinamai desa Cepu, Jawa Tengah. ayahnya bekerja
sebagai mantri pada kantor yang mengkoordinasikan para penjual candu di kota
kecil Pamotan, dekat Rembang.
Kartosoewirjo masuk ke sekolah Inlandsche
School der Tweede Klasse (ISTK) Pada umur 8 tahun, Empat tahun kemudian, ia
melanjutkan sekolah ke Hollandsch-Inlandsche School (HIS) di Rembang. Tahun
1919 kemudian pindahkan ke sekolah ELS (Europeesche Lagere School).
Tahun
1923 Kartosoewirjo telah lulus
dari sekolah di ELS, Kemudian ia pergi ke Surabaya melanjutkan studinya pada
Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS) sekolah kedokteran untuk pribumi.
Kemudian dikeluarkan pada tahun 1927. Selama kuliah di NIAS dia bergabung
dengan Syarikat Islam (SI) yang dipimpin oleh H. O. S. Tjokroaminoto.
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (S.M.
Kartosoewirjo) dalam pemikirannya bahwa Indonesia ini lebih baik menjadi negara
islam yang berlandaskan kepada al-Qur’an dan Hadist dalam arti berideologikan
islam bukan berdasar pada pancasila dengan menegdepankan nasionalisme.
Secara langsung maupun tidak langsung pemikiran Sekarmadji
Maridjan Kartosoewirjo (S.M. Kartosoewirjo) mengenai berdirinya NII dapat
mempengaruhi beberapa tokoh besar lainya yang ada diberbagai daerah misalkan
Aceh, Jawa tengah, Sulawesi, Kalimantan bahkan pada masa reformasi pecah pada
tahun 1998-an banyak muncul kelompok-kelompok yang sering dikaitkan dengan
“kebangkitan negara NII” walaupun cita-cita S.M. Kartosoewirjo ini mulia bagi
sebagaian besar penduduk di republik ini karena mayoritasnya adalah beragama islam
tapi sampai detik ini NII itu tidak terwujud.
B.
Saran-Saran
Dengan
adanya kajian kecil dari makalah mengenai sosok proklamator NII ini harapannya
kedepan para pembaca mengkaji lebih dalam lagi mengenai sosok S.M. Kartosoewirjo yang sebenarnya karena
setiap masyarakat yang ingin maju sekiaranya haruslah menghargai dan memahami
sejarah dari tokoh yang pernah hidup di negaranya masa dahulu sehingga dapat di
petik manfaat yang ada.
S.M. Kartosoewirjo dengan pemikiran NIInya yang
tidak terwujud karena beda pemahaman dengan tokoh-tokoh pendiri republik ini
namun dia tatap konsisten menperjuangkannya walaupun dia meningal didepan para
regu penembak.
Beberapa
daerah di Indonesia yang juga berkeinginan mendirikan NII adalah salah biasa
dari pemikiran S.M. Kartosoewirjo
mengenai konsep negara ini, alangkah baiknya kita generasi sekarang mengkaji
lebih dalam agar kita bisa menarik kesimpulan yang tepat sehingga tidak ada
saling salah menyalahkan mengenai perjuangan yang telah dituliskan oleh para
pemikir-pemikir indonesai pada masa memperjuangkan kemerdekaan.
DAFTAR PUSTAKA
Awwas, Irfan
S, Menelusuri
Perjalanan Jihad S.M. Kartosuwiryo, Yogyakarta: Wihdah Press, 1999.
Chaidar, Al. Pemikiran Politik
Proklamator Negara Islam Indonesia S. M. Kartosoewirjo. Jakarta: Darul
Falah, 1999.
Dengel, Holk H.,
Darul Islam dan S. M. Kartosoewirjo. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1995.
Horikoshi, Hiroko, “The Darul
Islam Movement in West Java : An Experience in Historical Process”,
Indonesia, Nr.20, 1975.
Jackson, Karl D., Kewibawaan
Tradisional, Islam dan Pemberontakan: Kasus Darul Islam Jawa Barat,
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989.
Kansil, C.S.T. dan Julianto S.A., Sejarah
Perjuangan Pergerakan Kebangsaan Indonesia, Jakarta: Erlangga, 1982.
Kuntowidjojo, Dinamika Sejarah
Perjuangan Umat Islam Indonesia, Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1985.
Van Dijk, C. Darul Islam: Sebuah
Pemberontakan (terj.), Jakarta: Pustaka Grafiti Utama, 1989.
Simatupang,
T.B. dan Lapian, “Pemberontakan di Indonesia: Mengapa dan Untuk Apa”,
Prisma, 1978.
Wikipedia.org
“Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo” diakses
pada: 12 Oktober 2015, https://id.wikipedia.org/wiki/Sekarmadji_Maridjan_Kartosoewirjo
Peneliti asing yang kkonsentrasi
meneliti masalah DII/TII di Indonesia
1. Cees
van Dijk
2. K.D.
Jackson
3. Holk
H. Dengel
[1] Irfan S Awwas, Menelusuri
Perjalanan Jihad S.M. Kartosuwiryo, (Yogyakarta: Wihdah Press, 1999), hal…
[3]
Holk
H. Dengel, Darul Islam dan S. M. Kartosoewirjo. (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1995), hal…
[4] A. Adaby
Darban, mengungkap biografi Sekarmaji
Marijan Kartosuwiryo, Jurnal Humaniora Volume XIX, No. 2/2007
[5]Anthony Reid, Perjuangan
Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatra. (Terj) (Jakarta: Sinar Harapan, 1986) hal. 151-152
Langganan:
Postingan (Atom)